Welcome !n My Blog

“Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”

Me n You

Kau berikan aku kesadaran begitu indah cerita hidupku oleh SENYUMMU... I ♥ U

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 18 November 2011

Terminologi Riba


Pengertian riba dalam kamus bahasa Arab adalah kelebihan, penambahan, peningkatan atau surplus. Kata riba juga telah dicakup dalam kata usury dalam bahasa Inggris. Usury diartikan sebagai bunga yang terlalu tinggi atau berlebihan. Tetapi dalam kalangan sarjana Islam, riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi dari pada pokok pinjaman.
Secara etimologis, riba berarti perluasan pertambahan dan pertumbuhan. Baik berupa tambahan material maupun immaterial, baik dari jenis barang itu sendiri maupun dari jenis lainnya. Pada masa pra-Islam, kata riba menunjukkan suatu jenis transaksi bisnis tertentu, dimana transaksi-transaksi tersebut mengidentifikasikan jumlah tertentu di muka (a fixed amount) terhadap modal yang digunakan. Secara garis besar, riba terjadi pada utang-piutang dan jual-beli.
Dalam ilmu ekonomi, riba berarti kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi pinjaman dari si peminjam, yaitu kelebihan dari jumlah pokok yang dipinjam sebagai upah atas dicairkannya sebagaian harta dalam waktu yang telah ditentukan.
Ibnu Hajar Al Askalani menyatakan bahwa esensi riba adalah kelebihan apakah itu berupa barang ataupun uang, seperti uang dua dinar pengganti satu dinar. Allama Mahmud Al Hasan Tauki mengatakan bahwa riba berarti kelebihan atau kenaikan dan juga dalam suatu perjanjian barter meminta adanya kelebihan satu benda untuk benda yang sama. Afzar Rahman menyatakan, pada dasarnya riba adalah pembayaran yang dikenakan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku dimana modal pinjaman tersebut digunakan.
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan atau pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Jadi apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah Rasulullah Saw. Beliau bahkan mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apa pun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda :”Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah”. Dalam hadits riwayat Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Pengertian ini tercermin dalam tulisan-tulisan para ulama dalam sejarah Islam. Hampir tidak ada tafsir Al Qur’an klasik atau kamus bahasa Arab yang memberikan arti berbeda. Misalnya, al-Qurthubi (w.671H/1070M), yang dianggap sebagai salah satu penafsir Al Qur’an yang paling terkenal, dengan jelas menunjukkan bahwa, “kaum muslimin sepakat perihal pengesahan Rasulullah bahwa adanya syarat pertambahan atas jumlah pinjaman adalah riba, tidak peduli apakah berupa sengenggam tepung, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud atau sebutir gandum”.
Ibnu Manzur (w.711H/1311M) juga dengan jelas menyatakan dalam kamus bahasa Arabnya yang termasyhur (Lisan al-Arab) bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah, manfaat, keuntungan lebih yang diterima dari pinjaman dalam bentuk apa pun.”
Jadi, istilah riba yang dipahami sejak masa awal berarti “premium” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu jatuh temponya.
Ini juga merupakan keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fuqaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan  riba, termasuk Muktamar al-Fiqih al-Islami yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1951 dan di Kairo pada tahun 1965. Juga pertemuan Komite Fiqih OKI dan Rabithah ‘Alam Islami yang diselenggarakan  pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan Mekkah. (Lihat al-Qaradhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Dar Ash Shahwah – Dar al Wafa’, Kairo, 1994, hlm. 192-1942). Dengan konsensus mutlak tersebut, tidak ada ruang untuk berargumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam Islam. Karena itu, beberapa pendapat minoritas yang menyatalan pandangan berbeda tidak melemahkan sedikitpun konsensus tersebut.
Al-Qaradhawi dalam hal pengertian riba, mengatakan bahwa sesungguhnya pegangan ahli-ahli fiqih dalam membuat batasan-batasan pengertian riba adalah nash Al Qur’an itu sendiri.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ   bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al Baqarah : 278 -279).

Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu  yang lebih dari modal  dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal asli yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba.
Batasan riba yang diharamkan Al Qur’an itu sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman :
ö¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ....
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah : 275).

Larangan Riba Dalam Islam

Umat islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan ini supaya umat islam tidak melibatkan diri dalam riba dengan bersumber dari berbagai surat dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, kaum muslimin, termasuk madzhab yang empat. Larangan riba yang terdapat dalam al quran tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Pada tahap pertama, turun surat ar-Rum ayat 39. Dalam ayat tersebut Allah SWT mencela riba dan memuji zakat. Ayat ini secara halus menyebutkan bahwa riba itu tidak baik dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena si pelaku tidak tidak akan mendapat pahala di sisi Allah SWT. Sebaliknya, dalam ayat ini dijelaskan bahwa perbuatan yang baik dan terpuji adalah zakat yang akan menghasilkan pahala di sisi Allah SWT di akhirat.
Pada tahap kedua, turun surat an-Nisa ayat 161. Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan riba diharamkan bagi orang Yahudi. Namun, mereka melanggar larangan tersebut dan hal ini merupakan salah satu penyebab kemurkaan Tuhan terhadap mereka. Dalam ayat ini, Allah SWT sudah mengisyaratkan riba itu dilarang atau diharamkan bagi orang Yahudi, tetapi belum ditemukan nash secara mutlak yang menjelaskan bahwa riba itu haram bagi kaum muslimin.
Pada tahap ketiga, turun surat Ali Imran ayat 130. Dalam ayat ini terdapat nash yang secara jelas mengharamkan riba, yang disertai dengan penjelasan yang menerangkan riba yang bersifat pemerasan dari golongan ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah itu megandung penganiayaan. Dengan riba, pihak yang berhutang, pada umumnya kaum lemah (dhuafa) tidak mampu mengembalikan utangnya kepada pihak yang meminjamkan.
Jika tidak bisa melunasi utangnya pada waktu yang dijanjikan, pihak yang berutang dipaksa melipatgandakan pembayaran utangnya dengan imbalan penundaan jangka waktu pembayaran. Riba seperti ini disebut riba an-nasi'ah (riba penundaan) dan dalam ayat tersebut dihukumkan haram secara juz'i (sebagian). Artinya, riba yang diharamkan hanya yang mempunyai sifat berlipat ganda (adh'afan muda'afan). Mengenai riba yang tidak berlifat ganda, hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat yang turun berikutnya
Pada tahap keempat atau tahap terakhir turun surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279. Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat keterangan yang mengharamkan riba secara mutlak, jelas dan tegas, tidak terapat keraguan lagi. Kedua tahapan yang terakhir menjelaskan bahwa riba dalam jenis dan bentuk apa pun tetap haram dan tidak diperbolehkan mengambil dan memakannya. Bahkan Allah SWT memerintah manusia untuk meninggalkan sisa riba yang berlipat ganda yang belum dipungut.

Sejarah Ekonomi Dan Praktek Riba Pada Masa Awal Islam

Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160). 
Selain Al-quran, sangat banyak  pula hadits Nabi  yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis  dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba  menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim).
Nabi Muhammad Saw  dalam masa kerasulannya  dengan gigih memberantas riba yang demikian meluas di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam lainnya terbatas.
Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong maju dan kaya. Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur besar  perdagangan dunia.
 Pertama, lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang Utara,Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang internasional, maka tidak heran jika mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad Saw secara bertahap dalam kurun waktu  lebih dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut  harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi  saat ini.