Umat islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan ini supaya umat islam tidak melibatkan diri dalam riba dengan bersumber dari berbagai surat dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, kaum muslimin, termasuk madzhab yang empat. Larangan riba yang terdapat dalam al quran tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Pada tahap pertama, turun surat ar-Rum ayat 39. Dalam ayat tersebut Allah SWT mencela riba dan memuji zakat. Ayat ini secara halus menyebutkan bahwa riba itu tidak baik dan tidak bermanfaat bagi pelakunya karena si pelaku tidak tidak akan mendapat pahala di sisi Allah SWT. Sebaliknya, dalam ayat ini dijelaskan bahwa perbuatan yang baik dan terpuji adalah zakat yang akan menghasilkan pahala di sisi Allah SWT di akhirat.
Pada tahap kedua, turun surat an-Nisa ayat 161. Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan riba diharamkan bagi orang Yahudi. Namun, mereka melanggar larangan tersebut dan hal ini merupakan salah satu penyebab kemurkaan Tuhan terhadap mereka. Dalam ayat ini, Allah SWT sudah mengisyaratkan riba itu dilarang atau diharamkan bagi orang Yahudi, tetapi belum ditemukan nash secara mutlak yang menjelaskan bahwa riba itu haram bagi kaum muslimin.
Pada tahap ketiga, turun surat Ali Imran ayat 130. Dalam ayat ini terdapat nash yang secara jelas mengharamkan riba, yang disertai dengan penjelasan yang menerangkan riba yang bersifat pemerasan dari golongan ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah itu megandung penganiayaan. Dengan riba, pihak yang berhutang, pada umumnya kaum lemah (dhuafa) tidak mampu mengembalikan utangnya kepada pihak yang meminjamkan.
Pada tahap ketiga, turun surat Ali Imran ayat 130. Dalam ayat ini terdapat nash yang secara jelas mengharamkan riba, yang disertai dengan penjelasan yang menerangkan riba yang bersifat pemerasan dari golongan ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah itu megandung penganiayaan. Dengan riba, pihak yang berhutang, pada umumnya kaum lemah (dhuafa) tidak mampu mengembalikan utangnya kepada pihak yang meminjamkan.
Jika tidak bisa melunasi utangnya pada waktu yang dijanjikan, pihak yang berutang dipaksa melipatgandakan pembayaran utangnya dengan imbalan penundaan jangka waktu pembayaran. Riba seperti ini disebut riba an-nasi'ah (riba penundaan) dan dalam ayat tersebut dihukumkan haram secara juz'i (sebagian). Artinya, riba yang diharamkan hanya yang mempunyai sifat berlipat ganda (adh'afan muda'afan). Mengenai riba yang tidak berlifat ganda, hukumnya ditetapkan oleh Allah SWT dalam ayat yang turun berikutnya
Pada tahap keempat atau tahap terakhir turun surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279. Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat keterangan yang mengharamkan riba secara mutlak, jelas dan tegas, tidak terapat keraguan lagi. Kedua tahapan yang terakhir menjelaskan bahwa riba dalam jenis dan bentuk apa pun tetap haram dan tidak diperbolehkan mengambil dan memakannya. Bahkan Allah SWT memerintah manusia untuk meninggalkan sisa riba yang berlipat ganda yang belum dipungut.
0 komentar:
Posting Komentar