Rabu, 17 Oktober 2012

Manusia Menurut Al Qur'an


A.      Konsep Manusia Dalam Al Quran
Ketika berbicara tentang manusia, al-Qur'an menyebutnya dengan beberapa sebutan di antaranya adalah basyar, ins, insaan, naas dan bani Adam konteks masing-masing dapat diungkap sebagai berikut :
Ditinjau dari materi huruf yang membentuk kata-kata tersebut, maksudnya ins, insaan dan naas, hanya kata basyar dan bani Adam yang secara morfologis tidak memiliki kaitan dengan ketiga kata tersebut. Kata ins merupakan kata dasar bagi kata insaan, dan kata naas, yang menurut satu pendapat dianggap berasal dari kata unaas yang kemudian hamzah-nya dibuang, merupakan bentuk jamak dari kata insaan (Ibn al-Mandzur, t.t.:307). Secara umum, makna dasar kata ins dan derivasinya berkisar di antara 2 makna yaitu pertama lawan dari kata liar, yang berarti jinak, dan kedua memperlihatkan atau diperlihatkan, ditampakkan (Ibn al-Manzdur, t.t.: 313).
Meskipun hanya tiga kata tersebut yang memiliki kaitan morfologis antara satu kata dengan yang lainnya, namun secara semantik kata basyar dan bani Adam, ditinjau dari makna yang dikandungnya memiliki makna yang sama, yaitu berkisar pada aspek ketampakan makhluk tertentu dari ciptaan Tuhan, dengan segala konsekwensi yang timbul dari makna ketampakan tersebut seperti mengalami perpindahan dan perubahan sebagaimana yang ditunjukkan pada makna kata basyar dan bani Adam. Bahkan secara khusus kata basyar menunjukkan aspek materiil dari manusia yang pertama kali dapat dilihat, yaitu kulit yang merupakan bagian terluar dari wujud manusia. Makna ini akan menjadi tampak jelas apabila kita memperhatikan makna tersebut secara kebahasaan sekaligus pemakaian al-Qur'an terhadap kata-kata tersebut.

Pertama al-, Basyar
Kata ini muncul baik dalam surat-surat makkiyah maupun madaniyyah. Surat-surat makkiyah yang memuat kata ini, sekitar 20 surat, dalam kaitannya dengan penciptaan manusia, kemanusiaan para nabi dan rasul dan ketidak-mungkinan basyar untuk berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Sementara itu dalam surat madaniyyah kata ini muncul dalam tiga surat, yaitu QS. al-Taghaabun: 6, QS. Ali Imran: 47 dan 79, dan QS. al-Maidah: 18. Dalam surat-surat tersebut kata ini berkaitan dengan ke-basyar-an para rasul, orang-orang Yahudi dan Nasrani, serta ketidakmungkinan basyar, dalam konteks Nabi Isa, untuk mengaku sebagai Tuhan setelah ia diberi al-Kitab, Hikmah dan kenabian.
Yang ditunjuk oleh kata ini dalam al-Qur'an secara spesifik adalah apa yang terlihat dan tampil di permukaan dari wujud manusia, apakah itu secara fisik-biologis ataupun tindakan-tindakan aktual dari fisik manusia. Makna ini ditampilkan melalui ungkapan basyar yang menunjuk pada makna kulit. Apabila kata ins di atas juga bermakna makhluk yang diperlihatkan, maka yang dimaksudkan di sini adalah bagian-bagian dari makhluk tersebut yang diperlihat, yaitu anggota tubuh dan fungsi-fungsinya. Dengan demikian kata basyar dapat dianggap sebagai penjelasan terhadap makna ins yang bersifat umum, atau kata tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari makna ins yang sangat luas yang mencakup semua makhluk yang ditampakkan. Oleh karena itu, menurut Abd Shabuur Syahin (2001:76) kata basyar bermakna asal "yang paling menonjol di antara semua makhluk Tuhan". Makna ini sejalan dengan makna dasar dari kata tersebut ditinjau dari makna bahasanya, yaitu kulit tempat di mana rambut manusia dapat tumbuh, kulit sebagai simbol dari bagian paling luar dari fisik manusia (Ibn al-Mandzur, t.t.: 125). Demikian pula halnya dengan tindakan-tindakan fisik manusia. Yang ditonjolkan dalam kata ini adalah kemanusiaan manusia yang terdiri dari kulit, daging dan tulang serta konsekwensi yang muncul dari fisik kemanusiaan ini, seperti makan, minum, pergi ke pasar dan lain-lain tindakan yang menjadi tindakan umum kemanusiaan.
Makna kata basyar yang semacam ini tampaknya berkaitan erat dengan asal-usul materi yang dipergunakan untuk menciptakan mereka, yaitu "thiin" yang mengandung unsur debu dengan air (Syahin, 2001:77). Di samping itu kata basyar juga dipergunakan dalam kaitannya dengan penciptaan. Secara umum penciptaan manusia sebagai basyar dikaitkan dengan elemen-elemen fisik yang kasar, selain air, seperti debu, tanah kemudian tanah liat yang kering dan keras (QS. al-Hijr: 28, 33; QS. al-Ruum: 20; QS. al-Furqaan: 54 dan QS. Shaad: 71).
Oleh karena yang ditonjolkan pada kata basyar adalah pada aspek ini, banyak ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kata basyar, dan ayat-ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia dalam pengertian basyar ini tidak memiliki kualitas kemanusiaan yang menunjukkan kelebihan manusia yang satu atas yang lainnya. Sebagai basyar manusia hanyalah kumpulan dari organ-organ tubuh yang memiliki fungsi fisiologis semata dan memiliki kaitan dengan tindakan-tindakan yang memerlukan topangan organ-organ fisik.
Oleh karena demikian, tidak mengherankan, ketika aspek ini yang ditekankan, apabila para nabipun dipandang sama dengan manusia lainnya. Mereka memiliki anggota tubuh yang sama sebagaimana anggota tubuh manusia lainnya. Sebagai konsekwensinya, sebagian masyarakat ketika diajak untuk mengikuti nabi, menolak untuk mentaati atau mempercayai nabi ataupun rasul karena mereka melihat nabi atau rasul pada aspek ini sama saja dengan manusia lainnya. Tidak ada perbedaan antara manusia biasa dengan mereka yang mengaku sebagai nabi atau rasul (QS. al-Maidah: 18; QS. al-An’am: 91; QS. Ibrahim: 10; QS. al-Nahl: 103; QS. al-Anbiya': 3; QS. al-Mukminun: 24, 33, 34; QS. al-Syua’ra': 153, 186; QS. Yaasiin: 36; QS. al-Taghaabun: 6; QS. al-Mudatstsir: 25; QS. Huud: 27; QS. Yusuf: 31; QS. al-Isra': 94; QS. al-Qamar: 34). Bahkan ketika dikatakan seorang malaikat, sebagaimana dalam surat Maryam ayat 17, merubah wujudnya sebagai manusia dinyatakan dengan kata basyar. Ini berarti bahwa wujud malaikat tersebut dilihat dari organ-organ fisik manusia.
Pada aspek ini semua manusia dalam berbagai tingkatan sosial-budaya adalah sama, tidak ada yang melebihi satu sama lainnya. Oleh karenanya, pada saat yang sama, para Rasul dan Nabi juga menekankan aspek ini ketika mereka menyebarkan dakwahnya. Mereka adalah manusia biasa sebagaimana manusia lainnya yang terdiri dari berbagai organ tubuh yang sama, hanya saja mereka adalah manusia yang diberi wahyu, yang diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan tauhid (lihat QS. Ibrahim: 11; QS. al-Kahfi: 110; QS. Fushshilat: 6 dan QS. al-Isra': 9).

Kedua, Insaan
Kata ini dapat ditemukan dalam 45 surat dengan rincian 41 surat Makkiyah dan 4 surat Madiniyah. Dalam empat surat yang terakhir ini manusia digambarkan sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan lemah (QS. al-Nisa': 28) karena manusia menjadi obyek yang mudah digoda setan (QS. al-Hasyr: 16) sehingga ia lupa akan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan (QS. al-Hajj: 66). Di samping itu juga dinyatakan keberanian manusia untuk memikul amanat yang enggan diterima oleh langit dan bumi karena khawatir tidak sanggup menjalankannya (QS. al-Ahzaab: 72). Sementara itu surat-surat Makkiyah lebih menekankan pada aspek penciptaan manusia, dari apa dan bagaimana manusia diciptakan dengan segala kekurangan dan kelebihan watak yang melekat pada dirinya, dan kecenderungan manusia untuk mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Manusia melupakan watak dasar dirinya sendiri.
Apabila dua kata sebelumnya, ins dan basyar, tidak terkait dengan sifat-sifat dan atribut psikologis dan kognitif dari manusia, maka kata insaan justru memperlihat kualitas dari manusia. Kata ini tidak menekankan pada aspek kemanusiaan secara fisik, seperti yang ditunjukkan pada kata basyar, atau aspek keberadaannya di dunia secara konkrit sebagaimana yang ditunjukkan dalam kata ins. Tetapi, kata ini lebih menekankan pada aspek psikologis manusia yang dapat berpikir dan merasakan apa yang dialaminya. Namun demikian harus dipahami bahwa insaan tidak ada tanpa ada basyar, karena sifat insaan senantiasa melekat pada sifat basyariyah manusia. Basyar merupakan wujud materi, sementara insaan merupakan eksiden bagi materi tersebut.
Apabila diperhatikan ayat-ayat al-Qur'an yang menyebutkan kata insaan, akan dapat diambil kesimpulan bahwa kata ini berkaitan, pertama, dengan watak manusia yang memiliki hubungan dengan sikap-sikap negatip dari manusia, kedua dengan asal usul penciptaannya, ketiga dengan pengajaran yang diberikan Allah, dan keempat dengan beban yang diberikan kepadanya.
Di antara sifat-sifat yang banyak disebutkan dalam al-Qur'an berkaitan dengan watak manusia adalah bahwa manusia sering melupakan Tuhannya ketika sedang dalam keadaan senang, padahal ketika sedang susah mereka senantiasa membutuhkan dan berdoa kepada Tuhan (QS. Hud: 9; QS. Yunus: 12; QS. al-Isra': 67, 83, 100; QS. Ibrahim: 34; QS. al-Zumar: 8, 49; QS. Fushshilat: 51; QS. al-Syuuraa: 48). Berangkat dari watak ini kata insaan sering dikaitkan dengan ungkapan seperti manusia cepat putus asa, tidak mau terima kasih, sangat dzalim, pelit, keluh kesah dan semacamnya.
Kata insaan juga dikaitkan dengan asal-usul penciptaannya. Namun demikian, asal usul penciptaan manusia di sini sedikit agak berbeda dengan asal-usul yang disebutkan dalam kaitannya dengan kata basyar. Meskipun juga dikaitkan dengan unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan dalam basyar, seperti tanah yang liat dan debu, kata insaan dikaitkan paling sering dengan kata nuthfah (QS. al-Insaan: 2; QS. Yaasiin: 77; QS. al-Nahl: 4). Tampaknya kata basyar dalam fase penciptaannya lebih terkait dengan tanah, sementara kata insaan lebih berkaitan dengan nuthfah. Apabila tanah dianggap elemen yang paling mendasar dari elemen-elemen penciptaan manusia dan elemen ini bersifat kasar atau mentah sehingga dapat dijadikan sebagai simbol bagi keberadaan fisik manusia, maka nuthfah di sini dapat dianggap sebagai perkembangan lanjut dari perubahan elemen mendasar tersebut menjadi elemen yang lebih halus dan lunak. Apabila ini benar, maka kaitan tersebut sejalan dengan pemakaian istilah basyar dan insaan. Maksudnya, ada kesejajaran perkembangan antara istilah tersebut dengan elemen-elemen penciptaannya.
Surat yang pertama diturunkan menyatakan bahwa manusia mendapat pengajaran dari Allah. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahui manusia. Dalam surat al-Baqarah berkaitan dengan cerita Adam pengajaran tersebut berkaitan dengan pemberitahuan kepada Adam nama-nama atau sebutan-sebutan, termasuk dalam pengertian mengajarkan di sini adalah pemberian takliif kepada insaan. Takliif kepada manusia, yang disimbolkan untuk pertama kalinya melalui Adam, terdiri dari dua hal yang kontradiksi yang salah satunya harus dijalankan sementara yang lainnya harus dihindari. Manusia dalam konsep ini, insaan, adalah makhluk yang hidup dalam dua daya tarik yang saling bertentangan, karena manusia ini memiliki semua perangkat yang dapat mengarahkannya untuk membedakan keduanya yang bertentangan sesuai dengan akalnya. Namun demikian konsep insaan dalam al-Qur'an cenderung negatip dalam pengertian manusia dalam konsep ini cenderung kalah, atau mudah mengikuti pada, dengan tuntutan-tuntutan lingkungannya yang sering menjerumuskan pada sisi negatip yang justru menjadi larangan untuk dilakukan. Oleh karena itu dikatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan cenderung menuruti fakta-fakta meterinya sehingga melupakan hakekat keberadaannya (QS. al-Nisa': 28.).
Beban yang diberikan kepada insaan lebih banyak diarahkan agar, pertama-tama, manusia tidak menyimpang dari jalan Allah dengan jalan bertakwa, dan kedua bersikap baik kepada orang tua yang melahirkannya. Sikap-sikap baik kepada orang tua yang disebutkan al-Qur'an di antaranya berterima kasih kepadanya dan mendoakannya. insaan harus berbuat baik kepada kedua orang tua sekalipun insaan tidak berkenan ketika keduanya mengajak untuk bersikap syirik.

Ketiga, Naas
Al-Qur'an paling banyak menggunakan kata ini dibandingkan dengan kata-kata yang disebut di atas meskipun sama-sama mengacu pada manusia. Kemunculan kata tersebut dalam al-Qur'an mencapai 240 kali. Yang paling banyak muncul kata tersebut dalam bentuk definit, dengan memakai partikel al. banyaknya pemakaian kata naas dalam al-Qur'an berkaitan dengan acuan yang ditunjukkan oleh kata ini.
Pengamatan terhadap pemakaian kata naas dalam al-Qur'an memperlihatkan bahwa al-Qur'an menggunakannya dalam pengertian manusia dalam aktualnya di muka bumi dengan segala sepak terjangnya, apakah negatip ataupun positip. Manusia ini adalah manusia yang berada dalam ruang dan waktu yang aktual. Karena mengacu pada wujud manusia secara faktual dalam kehidupan dunia ini, kepada naas inilah titah Tuhan sering diarahkan, seperti titah untuk menyembah (QS. al-Baqarah: 21), memakan makanan yang halal dan bagus (QS. al-Baqarah: 168), untuk bertakwa (QS. al-Nisa': 1) dan lain sebagainya.
Oleh karena demikian, kata naas apabila disapa secara langsung pada umumnya diganti dengan kata ganti orang kedua, ka, kum, dan lain sebagiannya.
Pemakaian al-Qur'an yang semacam ini terhadap kata naas tampak sejalan dengan makna kata tersebut apabila ditinjau dari sisi bahasa. Di samping dikatakan memiliki makna seperti ins, sebagaimana diterangkan di atas, kata naas dari sudut lain dapat dianggap berasal dari kata naasa-yanuusu, yang berarti bergerak ke sana kemari. Manusia dikatakan dengan sebutan nâs karena manusia bergerak dan mengalami perubahan dan berbeda-beda serta berubah-ubah (Ibn al-Mandzur, t.t.: 131). Barangkali makna inilah yang dapat ditangkap dari firman Allah dalam surat Yunus ayat 19.
Dengan demikian, apabila kata-kata yang disebut sebelumnya lebih mengacu pada konsep tentang manusia, kata naas lebih menunjuk pada sepak terjang manusia yang merupakan realisasi aktual dari konsep tersebut di atas, ins dalam bentuk basyar dan insaan serta bani Adam.

Keempat, Ins
Kata ini dalam al-Qur'an disebutkan dalam 17 surat secara bersama-sama dengan kata jinn atau jaann (Binti al-Syathi', t.t.:14). Kadang-kadang kata ins disebutkan mendahului kata jin dan demikian pula sebaliknya. Namun kata jinn lebih banyak mendahului kata ins. Tampaknya hal ini menunjukkan urut-urutan keberadaan yang berawal dari yang tidak terlihat ke yang tampak. Di samping itu, didahulukannya jinn dari ins juga dapat didasarkan pada urut-urutan penciptaan sebagaimana yang ditunjukkan dalam surat al-Hijr ayat 27, dan juga dapat disimpulkan dari sebutan khalifah dalam cerita Adam. Kata khalifah dalam sebuah riwayat lebih tepat diartikan dengan makna "mukhallaf", maksudnya makhluk yang diciptakan belakangan.
Kata yang sama dengan ins adalah insiyy dengan bentuk jamaknya "'anaasiya". Akan tetapi, kata ini dalam pemakaian al-Qur'an tidak pernah muncul secara bersama dengan kata jinn. Baik bentuk tunggal maupun jamaknya hanya dapat ditemukan sekali. Bentuk tunggal terdapat dalam surat Maryam ayat 26, sementara bentuk jamak terdapat dalam surat al-Furqan. Hubungan antara kata "ins" dengan "insiyy" sama dengan hubungan antara kata "`arab" dengan "`arabiyy" dan semacamnya; yang pertama umum dan menyeluruh, sementara yang kedua khusus dan terbatas.
Kata ins mendahului kata jin pada konteks pembicaraan tentang kesucian bidadari (QS. al-Rahman: 39, 56 dan 74), anggapan jin tentang makhluk manusia dan jin (QS. al-Jinn: 5), dan sikap permusuhan manusia dan jin terhadap setiap nabi (QS. al-An’am: 112).
Ditinjau dari pemakaiannya yang disebutkan secara bersama-sama dengan kata jinn, kata ins mengacu pada makna jinak, yang berarti dapat dilihat dan ditangkap karena memang diperlihatkan, karena makna kata "jinn" secara bahasa berarti samar, tertutup dan tidak dapat ditangkap (Binti al-Syathi', t.t.: 313). Tentunya, ini dipandang dari sudut dunia manusia. Dari makna bahasa ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya makhluk Tuhan ada dua, yaitu bangsa ins, bangsa makhluk Tuhan yang diperlihatkan sehingga terlihat, dan yang tertutup sehingga tidak terlihat (oleh manusia), yaitu jinn.
Kata ins disebutkan secara bersama-sama dengan kata jinn atau jânn, ini memiliki makna bahwa keduanya dalam banyak hal memiliki kesamaan. Di antara kesamaan yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah bahwa mereka sama-sama menjadi makhluk yang diciptakan Tuhan untuk menyembah-Nya (QS. Al-Dzariyaat: 56), kepada masing-masing di antara keduanya sama-sama dikirimkan utusan-utusan dari kalangan mereka sendiri (QS. al-An’am: 13); sama-sama diberi potensi kemampuan untuk menembus melampaui batas dunia masing-masing ke dunia lain yang lebih tinggi (QS. al-Rahman: 39); sama-sama ditantang untuk membuat yang semisal dengan al-Qur'an (QS. al-'Isra': 88); sama-sama dimungkinkan untuk menjadi musuh bagi nabi (QS. al-An’am: 112); sama-sama dimungkinkan untuk berhubungan dan saling mempengaruhi baik antar keduanya atau antar masing-masing, secara negatip terutama jin kepada manusia (QS. al-An’am: 112, 128; QS. al-A’raaf: 38; QS. al-Jinn: 6), dan sama-sama dimungkinkan mereka mendapatkan siksa sebagai akibat dari kelalaian mereka berdua di dalam menunaikan tugas utamanya sebagai hamba yang mendapatkan takliif yang harus ditunaikan (QS. al-A’raaf: 38, 179; QS. Fushshilat: 29; QS. al-Jinn: 5).
Di samping bahwa makhluk Tuhan itu ada dua jenis, yang terlihat dan tidak tampak sebagaimana disebutkan di atas, penyebutan dua jenis makhluk ini dalam al-Qur'an lebih ditekankan pada aspek adanya hubungan antara keduanya, hubungan saling mempengaruhi satu sama lain dengan tekanan utamanya bahwa jin sering dianggap sebagai yang dapat menyesatkan manusia, dan manusia sendiri menjadikan jin sebagai tempat perlindungan, subyek yang dimintai pertolongan (QS. al-Jinn: 6; QS. al-A’raaf : 38, dan QS. al- An’am: 112).
Gradasi turunnya ayat-ayat Al-Qur'an yang memuat kata-kata ins dan jinn, yang semuanya terdapat dalam surat makkiyah, menunjukkan bahwa jin dan manusia dimungkinkan memiliki kemampuan tertentu untuk menguasai bumi dan langit melalui perangkat-perangkat penguasaan, namun demikian kemampuan itu harus dalam kerangka menyembah Tuhan. Dalam kenyataannya di antara manusia dan jin justru saling bahu-membahu untuk mengabaikan hal itu, sehingga mereka menerima akibat hukuman, padahal mereka telah diberi peringatan melalui para rasul yang didatangkan kepada mereka dan dari kalangan mereka sendiri.

Kelima, Bani Adam
Kata Bani Adam menurut bahasanya adalah keturunan atau anak-cucu Adam, karena Adam dianggap sebagai insaan pertama yang muncul di bumi. Kata Adam secara bahasa bisa berarti permukaan, bagian dalam dari kulit dan bagian yang menjadikan sesuatu dapat dikenali. Dari Adam inilah manusia mulai dikenali dalam pentas kehidupan di permukaan bumi. Kata ini dalam al-Qur'an disebutkan sekitar 7 kali. Adam merupakan wujud awal dari konsep basyar yang telah menjadi insaan. Dia dan pasangannya merupakan insaan pertama yang dimunculkan dalam pentas kehidupan dunia. Oleh karena itu, ungkapan bani Adam dalam al-Qur'an mengacu pada keseluruhan anak manusia semenjak dari keturunan awal Adam hingga akhir zaman.
Al-Qur'an mempergunakan istilah ini, terutama dalam rangka mengingatkan asal-usulnya yang berkaitan dengan cerita Adam. Mereka harus berkaca pada pengalaman Adam yang pernah dijerumuskan oleh setan ke dalam tindakan yang dilarang Tuhan (QS. al-A’raaf: 27). Oleh karena itu, ungkapan bani Adam lebih menekankan pada peringatan terhadap manusia agar memegang nikmat yang telah diberikan kepada Allah, apakah nikmat itu berupa pemberian kemulyaan, penghidupan di darat dan laut, pemberian rizki ataupun kedudukan di atas makhluk lainnya (QS. al-Isra': 70); ikatan janji primordial untuk tidak menyembah setan karena telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Yaasiin: 60, dan QS. al-A’raaf: 172), yang telah memberikan pakaian takwa yang harus mereka pergunakan setiap kali mereka menuju ke tempat sujud, dan itu bumi itu sendiri (QS. al-A’raaf: 31).

B.       Pandangan Filosof Mengenai Esensi  Manusia
Filosof Yunani Aristoteles Berpendapat bahwa sesensi manusia terletak pada akalnya yang menjadikansebagai makhluk yang berfikir Al ghazali meletakan manusia kedalam tiga tingkat kesadaran
Pandangan, yakni kesadaran indrawi,kesadaran akal,kesadaran rohani.Tahap awal manusia bergantung kepada kemampuan indranya yaitu pendengaran,penglihatan,dan perasaannya,menerima rangsangan rangsangan indra apa adanya.Tahap kedua ,manusia menyadari bahwa indra seringkali berdusta dan mulai menggunakan akalnya supaya terhindar dari tipuan tipuan indra .pada tahap berikutnya manusia mulai menyadari bahwa akal juga sering tidak jujur terutama kalau berhadapan dengan norma kebenaran dan etika.baru pada tingkat jiwani manusia mengenal pedoman hidup yang hak,yakni pedoman dalam rasa yang tersurat di dalam hati.
Ibn Khaldun memandang manusia dalam struktur matra”dunia Manusia dan dunia Malaikat yang tergambarkan dalam raga dan jiwa.Raga berhubungan dengan realitas atas dan bawah realitas bawah jiwa manusia berhubungan dengan raga dan lewat raga berhubungan dengan dunia fisik.sedangkan realitas atas jiwa manusia berhubungan dengan dunia rohaniahyang disebut dengan dunia malaikat.manusia yang memiliki sifat kemanusiaan dan kemalaikatan. Jiwa menurut khaldun berfungsi sebagai alat untuk mempersiapkan perubahan atau pertukaran kedua sifat tersebut sejalan dengan Al Quran Q.S Shaad ayat 71-72 :
øŒÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #ZŽ|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ   #sŒÎ*sù ¼çmçG÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ  

71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manusia manusia merupakan makhluk fisiko-fisik yang esensinya terletak pada perbuatannya dalam bentuk kebudayaan .ia terlahir dengan potensinya yang memungkinkannya untuk berkembang .Manusia bukanlah makhluk yang diciptakan dalam kondisi yang telah jadi dan dapat tumbuh dengan sendirinya ia memerlukan lingkungan yang mempengaruhinya untuk berkembang baik sengaja atau tidak sengaja.

C.    Kebutuhan Manusia Akan Pedoman Hidup
Al Qur’an adalah petunjuk dari Allah SWT untuk manusia hingga akhir zaman kelak. Al Qur’an turun kepada manusia secara berangsur-angsur melalui Nabi Muhammad SAW. Setelah suatu ayat turun, Nabi Muhammad SAW segera menyampaikannya secara tabligh, sidik, amanah, dan fathonah kepada para sahabat dan umat manusia pada waktu itu.
Kemudian di antara para sahabat dan umat manusia ada yang menghafalkannya sehingga kemurnian Al Qur’an selalu terjaga. Bahkan setelah Rasulullah SAW wafat kemurnian Al Qur’an tetap terjaga karena banyaknya para penghafal Al Qur’an di tengah umat Islam.
Dirintis sejak masa khalifah Abu Bakar dan direalisasikan pada masa Khalifah Utsman, Al Qur’an dibukukan menjadi satu mushaf. Pembukuan tersebut bermanfaat mendukung penjagaan kemurnian Al Qur’an yang telah dan terus dilakukan oleh para penghafal Al Qur’an. Walaupun diduga pada masa sekarang ini pembukuan Al Qur’an juga diwarnai oleh motif yang kurang tepat, seperti motif bisnis atau motif perpecahan, namun kemurnian Al Qur’an tetap terjaga dengan izin Allah dan ketekunan para penghafalnya sehingga Al Qur’an sebagai petunjuk kehidupan sampai akhir zaman tetap terjaga.
Al Qu’an adalah petunjuk Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Al Qur’an menunjuki manusia dalam ibadah manusia kepadaNYA maupun dalam muamalah manusia kepada manusia yang lain, baik berupa muamalah politik, ekonomi, maupun muamalah pergaulan. Demikian juga Al Qur’an menunjuki manusia dalam merawat dirinya sendiri, berupa berpakaian, makan, minum dan berakhlakul karimah. Dengan demikian Al Qur’an adalah petunjuk Allah SWT kepada manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa manusia membutuhkan Al Qur’an sebab Al Qur’an jelas sekali sampai akhir zaman merupakan petunjuk dari Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui Al Qur’an manusia tidak akan kebingungan apalagi tersesat. Melalui Al Qur’an manusia akan tertuji dalam kehidupannya.
Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa manusia tidak membutuhkan petunjuk selain Al Qur’an, termasuk berbagai hal-hal yang aneh dan di luar kebiasaan. Manusia tidak membutuhkan petunjuk dari bayi yang dikulitnya ada tulisan berbahasa Arab, apalagi pohon, sarang lebah, tomat, telur, atau ombak, dll walaupun di sana ada tulisan berbahasa Arab dan bertuliskan Allah dan Muhammad sebagai suatu petunjuk. Sebab sudah ada petunjuk yang hak hingga akhir zaman yaitu Al Qur’an Kariim.

Lagi pula media pembawa keanehan tersebut tidak kalah anehnya. Media itu ada yang berwujud kulit bayi, telur ayam, ombak, pohon, atau sarang lebah, dll. Media pembawa petunjuk ini adalah media yang aneh dan tidak lazim. Bandingkan dengan Al Qur’an yang sampai kepada umat manusia secara lazimnya, yaitu melalui makhluk yang terhormat, yaitu seorang manusia yang diutus sebagai nabi, yaitu Nabi Muhammad SAW. Perbandingan ini sangat menunjukkan bahwa yang dibutuhkan manusia sebagai petunjuk adalah Al Qur’an yang dibawa Nabi muhammad SAW, bukan tulisan Arab yang dibawa bayi, telur, ombak, pohon, sarang lebah, tomat, langit, ombak, dan yang lainnya.
Selain itu petunjuk Al Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad dan diteruskan kepada umat manusia dan para sahabatnya dalam bentuk lisan. Yang selanjutnya dihafal oleh banyak umat Islam. Al Qur’an dalam bentuk mushaf baru muncul belakangan dan metode utama menjaga kemurniannya tetap berupa hafalan Al Qur’an. Oleh karena itu tulisan bahasa Arab atau Allah dan Muhammad pada berbagai media ayng menunjukan keanehan tersebut justru semakin meyakinkan sebagai hal yang bukan merupakan petunjuk Allah SWT. Sedangkan Al Qur’an adalah petunjuk dari Allah SWT sampai akhir zaman nanti. Perbandingan ini sangat menunjukkan bahwa yang dibutuhkan manusia sebagai petunjuk adalah Al Qur’an yang dibawa Nabi muhammad SAW, bukan tulisan Arab yang dibawa telur, ombak, pohon, sarang lebah, tomat atau yang lainnya.
Demikian juga jika memperhatikan perbedaan isinya, manusia akan sampai pada kesimpulan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk Allah SWT, sedangkan selain itu bukan petunjuk Allah SWT. Isi Al Qur’an yang penuh mukjizat itu mencakup seluruh aspek kehidupan sedangkan petunjuk yang lain tidak lengkap dan tidak mencakup seluruh aspek kehidupan. Perbandingan ini sangat menunjukkan bahwa yang dibutuhkan manusia sebagai petunjuk adalah Al Qur’an yang dibawa Nabi muhammad SAW, bukan tulisan Arab yang dibawa telur, ombak, pohon, sarang lebah, tomat atau yang lainnya.
Dengan demikian sangat jelas sekali yang dibutuhkan manusia sebagai petunjuk adalah Al Qur’an, sebab Al Qur’an dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang berisi petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan. Manusia tidak membutuhkan selain Al Qur’an, entah aneh atau tidak aneh, entah ajaib atau tidak ajaib sebagai petunjuk kehidupannya. Menggunakan petunjuk Al Qur’an manusia akan selamat dunia dan akhirat, menggunakan petunjuk yang lain manusia akan merugi dunia dan akhirat.

   D.     Manusia Muslim
            Sebagaimana penjelasan diatas manusia terdiri dari beberapa unsur yang satu sama lain saling mendukung mulai dari tujuan penciptaan,proses terjadnya manusia yang secara jelas digambarkan al-quran bahkan secara ilmu kedokteran hal itu bisa di buktikan kebenarannya kemudian setelah terwujud menjadi jasad yang sempurna manusia dengan perangkat yang diberikan oleh sang pencipta harus bersosialisasi dengan manusia lainnya untuk sebuah eksistensi kemanusiaannya serta dalam membentuk sebuah budaya .
            Manusia muslim oleh allah swt diberi potensi akal,nafsu,qolbu. Aqal diarahkan untuk mengelola alam dengan cara berfikir sehingga memunculkan ilmu pengetahuan,tekhnologi yang berkaitan dengan tugas kekhalipahan di muka bumi.kemudian Qolbu diarahkan kepada al-quran melalui proses dzikir sehingga menghasilkan keimanan sebagai modal dasar penghambaan diri kepada sang pencipta allah swt sedangkan nafsu menjadi perantara keduanya ,akal harus sejalan dengan qalbu agar tidak terjerumus kepada gaya hidup materialistis pun demikian qalbu harus sejalan dengan aqal agar tidak terjerumus kedalam budaya mistisme.Potensi manusia ketika di manfaatkan dalam koridor yang benar akan menghasilkan kualitas manusia yang sempurna (insan kamil)

1 komentar: