A. Konsep Manusia Dalam Al Qur’an
Ketika berbicara tentang manusia, al-Qur'an menyebutnya dengan beberapa
sebutan di antaranya adalah basyar, ins, insaan, naas dan bani Adam konteks masing-masing dapat
diungkap sebagai berikut :
Ditinjau dari materi huruf yang
membentuk kata-kata tersebut, maksudnya ins, insaan dan naas,
hanya kata basyar dan bani Adam yang secara morfologis tidak
memiliki kaitan dengan ketiga kata tersebut. Kata ins merupakan kata
dasar bagi kata insaan, dan kata naas, yang menurut satu pendapat
dianggap berasal dari kata unaas yang kemudian hamzah-nya
dibuang, merupakan bentuk jamak dari kata insaan (Ibn al-Mandzur,
t.t.:307). Secara umum, makna dasar kata ins dan derivasinya berkisar di
antara 2 makna yaitu pertama lawan dari kata liar, yang berarti jinak,
dan kedua memperlihatkan atau diperlihatkan, ditampakkan (Ibn al-Manzdur, t.t.:
313).
Meskipun hanya tiga kata tersebut yang memiliki kaitan morfologis antara
satu kata dengan yang lainnya, namun secara semantik kata basyar
dan bani Adam, ditinjau dari makna yang dikandungnya memiliki makna yang
sama, yaitu berkisar pada aspek ketampakan makhluk tertentu dari ciptaan Tuhan,
dengan segala konsekwensi yang timbul dari makna ketampakan tersebut seperti
mengalami perpindahan dan perubahan sebagaimana yang ditunjukkan pada makna
kata basyar dan bani Adam. Bahkan secara khusus kata basyar
menunjukkan aspek materiil dari manusia yang pertama kali dapat dilihat, yaitu
kulit yang merupakan bagian terluar dari wujud manusia. Makna ini akan menjadi
tampak jelas apabila kita memperhatikan makna tersebut secara kebahasaan
sekaligus pemakaian al-Qur'an terhadap kata-kata tersebut.
Pertama al-, Basyar
Kata ini muncul baik dalam surat-surat makkiyah maupun madaniyyah.
Surat-surat makkiyah yang memuat kata ini, sekitar 20 surat, dalam kaitannya
dengan penciptaan manusia, kemanusiaan para nabi dan rasul dan
ketidak-mungkinan basyar untuk berkomunikasi secara langsung dengan
Allah. Sementara itu dalam surat madaniyyah kata ini muncul dalam tiga surat,
yaitu QS. al-Taghaabun: 6, QS. Ali Imran: 47 dan 79, dan QS. al-Maidah: 18.
Dalam surat-surat tersebut kata ini berkaitan dengan ke-basyar-an para
rasul, orang-orang Yahudi dan Nasrani, serta ketidakmungkinan basyar,
dalam konteks Nabi Isa, untuk mengaku sebagai Tuhan setelah ia diberi al-Kitab,
Hikmah dan kenabian.
Yang ditunjuk oleh kata ini dalam al-Qur'an secara spesifik adalah apa yang
terlihat dan tampil di permukaan dari wujud manusia, apakah itu secara
fisik-biologis ataupun tindakan-tindakan aktual dari fisik manusia. Makna ini
ditampilkan melalui ungkapan basyar yang menunjuk pada makna kulit.
Apabila kata ins di atas juga bermakna makhluk yang diperlihatkan, maka
yang dimaksudkan di sini adalah bagian-bagian dari makhluk tersebut yang
diperlihat, yaitu anggota tubuh dan fungsi-fungsinya. Dengan demikian kata basyar
dapat dianggap sebagai penjelasan terhadap makna ins yang bersifat umum,
atau kata tersebut merupakan bentuk aktualisasi dari makna ins yang
sangat luas yang mencakup semua makhluk yang ditampakkan. Oleh karena itu,
menurut Abd Shabuur Syahin (2001:76) kata basyar bermakna asal
"yang paling menonjol di antara semua makhluk Tuhan". Makna ini
sejalan dengan makna dasar dari kata tersebut ditinjau dari makna bahasanya,
yaitu kulit tempat di mana rambut manusia dapat tumbuh, kulit sebagai simbol
dari bagian paling luar dari fisik manusia (Ibn al-Mandzur, t.t.: 125).
Demikian pula halnya dengan tindakan-tindakan fisik manusia. Yang ditonjolkan
dalam kata ini adalah kemanusiaan manusia yang terdiri dari kulit, daging dan
tulang serta konsekwensi yang muncul dari fisik kemanusiaan ini, seperti makan,
minum, pergi ke pasar dan lain-lain tindakan yang menjadi tindakan umum
kemanusiaan.
Makna kata basyar yang semacam ini tampaknya berkaitan erat dengan
asal-usul materi yang dipergunakan untuk menciptakan mereka, yaitu "thiin"
yang mengandung unsur debu dengan air (Syahin, 2001:77). Di samping itu kata basyar
juga dipergunakan dalam kaitannya dengan penciptaan. Secara umum penciptaan
manusia sebagai basyar dikaitkan dengan elemen-elemen fisik yang kasar,
selain air, seperti debu, tanah kemudian tanah liat yang kering dan keras (QS.
al-Hijr: 28, 33; QS. al-Ruum: 20; QS. al-Furqaan: 54 dan QS. Shaad: 71).
Oleh karena yang ditonjolkan pada kata basyar adalah pada aspek ini,
banyak ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan kata basyar, dan ayat-ayat
tersebut mengindikasikan bahwa manusia dalam pengertian basyar ini tidak
memiliki kualitas kemanusiaan yang menunjukkan kelebihan manusia yang satu atas
yang lainnya. Sebagai basyar manusia hanyalah kumpulan dari organ-organ
tubuh yang memiliki fungsi fisiologis semata dan memiliki kaitan dengan
tindakan-tindakan yang memerlukan topangan organ-organ fisik.
Oleh karena demikian, tidak mengherankan, ketika aspek ini yang ditekankan,
apabila para nabipun dipandang sama dengan manusia lainnya. Mereka memiliki
anggota tubuh yang sama sebagaimana anggota tubuh manusia lainnya. Sebagai
konsekwensinya, sebagian masyarakat ketika diajak untuk mengikuti nabi, menolak
untuk mentaati atau mempercayai nabi ataupun rasul karena mereka melihat nabi
atau rasul pada aspek ini sama saja dengan manusia lainnya. Tidak ada perbedaan
antara manusia biasa dengan mereka yang mengaku sebagai nabi atau rasul (QS.
al-Maidah: 18; QS. al-An’am: 91; QS. Ibrahim: 10; QS. al-Nahl: 103; QS.
al-Anbiya': 3; QS. al-Mukminun: 24, 33, 34; QS. al-Syua’ra': 153, 186; QS.
Yaasiin: 36; QS. al-Taghaabun: 6; QS. al-Mudatstsir: 25; QS. Huud: 27; QS.
Yusuf: 31; QS. al-Isra': 94; QS. al-Qamar: 34). Bahkan ketika dikatakan seorang
malaikat, sebagaimana dalam surat Maryam ayat 17, merubah wujudnya sebagai
manusia dinyatakan dengan kata basyar. Ini berarti bahwa wujud malaikat
tersebut dilihat dari organ-organ fisik manusia.
Pada aspek ini semua manusia dalam berbagai tingkatan sosial-budaya adalah
sama, tidak ada yang melebihi satu sama lainnya. Oleh karenanya, pada saat yang
sama, para Rasul dan Nabi juga menekankan aspek ini ketika mereka menyebarkan
dakwahnya. Mereka adalah manusia biasa sebagaimana manusia lainnya yang terdiri
dari berbagai organ tubuh yang sama, hanya saja mereka adalah manusia yang
diberi wahyu, yang diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan tauhid (lihat QS.
Ibrahim: 11; QS. al-Kahfi: 110; QS. Fushshilat: 6 dan QS. al-Isra': 9).
Kedua, Insaan
Kata ini dapat ditemukan dalam 45 surat dengan rincian 41 surat Makkiyah
dan 4 surat Madiniyah. Dalam empat surat yang terakhir ini manusia digambarkan
sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan lemah (QS. al-Nisa': 28) karena
manusia menjadi obyek yang mudah digoda setan (QS. al-Hasyr: 16) sehingga ia
lupa akan jati dirinya sebagai makhluk Tuhan (QS. al-Hajj: 66). Di samping itu
juga dinyatakan keberanian manusia untuk memikul amanat yang enggan diterima
oleh langit dan bumi karena khawatir tidak sanggup menjalankannya (QS.
al-Ahzaab: 72). Sementara itu surat-surat Makkiyah lebih menekankan pada aspek
penciptaan manusia, dari apa dan bagaimana manusia diciptakan dengan segala
kekurangan dan kelebihan watak yang melekat pada dirinya, dan kecenderungan
manusia untuk mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Manusia
melupakan watak dasar dirinya sendiri.
Apabila dua kata sebelumnya, ins dan basyar, tidak terkait
dengan sifat-sifat dan atribut psikologis dan kognitif dari manusia, maka kata insaan
justru memperlihat kualitas dari manusia. Kata ini tidak menekankan pada aspek
kemanusiaan secara fisik, seperti yang ditunjukkan pada kata basyar,
atau aspek keberadaannya di dunia secara konkrit sebagaimana yang ditunjukkan
dalam kata ins. Tetapi, kata ini lebih menekankan pada aspek psikologis
manusia yang dapat berpikir dan merasakan apa yang dialaminya. Namun demikian
harus dipahami bahwa insaan tidak ada tanpa ada basyar, karena
sifat insaan senantiasa melekat pada sifat basyariyah manusia. Basyar
merupakan wujud materi, sementara insaan merupakan eksiden bagi materi
tersebut.
Apabila diperhatikan ayat-ayat al-Qur'an yang
menyebutkan kata insaan, akan
dapat diambil kesimpulan bahwa kata ini berkaitan, pertama, dengan watak
manusia yang memiliki hubungan dengan sikap-sikap negatip dari manusia, kedua
dengan asal usul penciptaannya, ketiga dengan pengajaran yang diberikan Allah,
dan keempat dengan beban yang diberikan kepadanya.
Di antara sifat-sifat yang banyak disebutkan dalam al-Qur'an berkaitan
dengan watak manusia adalah bahwa manusia sering melupakan Tuhannya ketika
sedang dalam keadaan senang, padahal ketika sedang susah mereka senantiasa
membutuhkan dan berdoa kepada Tuhan (QS. Hud: 9; QS. Yunus: 12; QS. al-Isra':
67, 83, 100; QS. Ibrahim: 34; QS. al-Zumar: 8, 49; QS. Fushshilat: 51;
QS. al-Syuuraa: 48). Berangkat dari watak ini kata insaan sering
dikaitkan dengan ungkapan seperti manusia cepat putus asa, tidak mau terima
kasih, sangat dzalim, pelit, keluh kesah dan semacamnya.
Kata insaan juga dikaitkan dengan asal-usul penciptaannya. Namun
demikian, asal usul penciptaan manusia di sini sedikit agak berbeda dengan
asal-usul yang disebutkan dalam kaitannya dengan kata basyar. Meskipun
juga dikaitkan dengan unsur-unsur sebagaimana yang disebutkan dalam basyar,
seperti tanah yang liat dan debu, kata insaan dikaitkan paling sering
dengan kata nuthfah (QS. al-Insaan: 2; QS. Yaasiin: 77; QS. al-Nahl: 4).
Tampaknya kata basyar dalam fase penciptaannya lebih terkait dengan
tanah, sementara kata insaan lebih berkaitan dengan nuthfah.
Apabila tanah dianggap elemen yang paling mendasar dari elemen-elemen
penciptaan manusia dan elemen ini bersifat kasar atau mentah sehingga dapat
dijadikan sebagai simbol bagi keberadaan fisik manusia, maka nuthfah di
sini dapat dianggap sebagai perkembangan lanjut dari perubahan elemen mendasar
tersebut menjadi elemen yang lebih halus dan lunak. Apabila ini benar, maka
kaitan tersebut sejalan dengan pemakaian istilah basyar dan insaan.
Maksudnya, ada kesejajaran perkembangan antara istilah tersebut dengan
elemen-elemen penciptaannya.
Surat yang pertama diturunkan menyatakan bahwa manusia mendapat pengajaran
dari Allah. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahui manusia.
Dalam surat al-Baqarah berkaitan dengan cerita Adam pengajaran tersebut
berkaitan dengan pemberitahuan kepada Adam nama-nama atau sebutan-sebutan,
termasuk dalam pengertian mengajarkan di sini adalah pemberian takliif kepada
insaan. Takliif kepada manusia, yang disimbolkan untuk pertama
kalinya melalui Adam, terdiri dari dua hal yang kontradiksi yang salah satunya
harus dijalankan sementara yang lainnya harus dihindari. Manusia dalam konsep
ini, insaan, adalah makhluk yang hidup dalam dua daya tarik yang saling
bertentangan, karena manusia ini memiliki semua perangkat yang dapat
mengarahkannya untuk membedakan keduanya yang bertentangan sesuai dengan
akalnya. Namun demikian konsep insaan dalam al-Qur'an cenderung negatip
dalam pengertian manusia dalam konsep ini cenderung kalah, atau mudah mengikuti
pada, dengan tuntutan-tuntutan lingkungannya yang sering menjerumuskan pada
sisi negatip yang justru menjadi larangan untuk dilakukan. Oleh karena itu
dikatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan cenderung menuruti fakta-fakta
meterinya sehingga melupakan hakekat keberadaannya (QS. al-Nisa': 28.).
Beban yang diberikan kepada insaan lebih banyak diarahkan agar,
pertama-tama, manusia tidak menyimpang dari jalan Allah dengan jalan bertakwa,
dan kedua bersikap baik kepada orang tua yang melahirkannya. Sikap-sikap baik
kepada orang tua yang disebutkan al-Qur'an di antaranya berterima kasih
kepadanya dan mendoakannya. insaan harus berbuat baik kepada kedua orang
tua sekalipun insaan tidak berkenan ketika keduanya mengajak untuk
bersikap syirik.
Ketiga, Naas
Al-Qur'an paling banyak menggunakan kata ini dibandingkan dengan kata-kata
yang disebut di atas meskipun sama-sama mengacu pada manusia. Kemunculan kata
tersebut dalam al-Qur'an mencapai 240 kali. Yang paling banyak muncul kata
tersebut dalam bentuk definit, dengan memakai partikel al. banyaknya
pemakaian kata naas dalam al-Qur'an berkaitan dengan acuan yang
ditunjukkan oleh kata ini.
Pengamatan terhadap pemakaian kata naas dalam al-Qur'an
memperlihatkan bahwa al-Qur'an menggunakannya dalam pengertian manusia dalam
aktualnya di muka bumi dengan segala sepak terjangnya, apakah negatip ataupun
positip. Manusia ini adalah manusia yang berada dalam ruang dan waktu yang
aktual. Karena mengacu pada wujud manusia secara faktual dalam kehidupan dunia
ini, kepada naas inilah titah Tuhan sering diarahkan, seperti titah
untuk menyembah (QS. al-Baqarah: 21), memakan makanan yang halal dan bagus (QS.
al-Baqarah: 168), untuk bertakwa (QS. al-Nisa': 1) dan lain sebagainya.
Oleh karena demikian, kata naas apabila disapa secara langsung pada
umumnya diganti dengan kata ganti orang kedua, ka, kum, dan lain
sebagiannya.
Pemakaian al-Qur'an yang semacam ini terhadap kata naas tampak
sejalan dengan makna kata tersebut apabila ditinjau dari sisi bahasa. Di
samping dikatakan memiliki makna seperti ins, sebagaimana diterangkan di
atas, kata naas dari sudut lain dapat dianggap berasal dari kata naasa-yanuusu,
yang berarti bergerak ke sana kemari. Manusia dikatakan dengan sebutan nâs
karena manusia bergerak dan mengalami perubahan dan berbeda-beda serta
berubah-ubah (Ibn al-Mandzur, t.t.: 131). Barangkali makna inilah yang dapat
ditangkap dari firman Allah dalam surat Yunus ayat 19.
Dengan demikian, apabila kata-kata yang disebut sebelumnya lebih mengacu
pada konsep tentang manusia, kata naas lebih menunjuk pada sepak terjang
manusia yang merupakan realisasi aktual dari konsep tersebut di atas, ins
dalam bentuk basyar dan insaan serta bani Adam.
Keempat, Ins
Kata ini dalam al-Qur'an disebutkan dalam 17 surat secara bersama-sama
dengan kata jinn atau jaann (Binti al-Syathi', t.t.:14).
Kadang-kadang kata ins disebutkan mendahului kata jin dan demikian pula
sebaliknya. Namun kata jinn lebih banyak mendahului kata ins.
Tampaknya hal ini menunjukkan urut-urutan keberadaan yang berawal dari yang
tidak terlihat ke yang tampak. Di samping itu, didahulukannya jinn dari ins
juga dapat didasarkan pada urut-urutan penciptaan sebagaimana yang ditunjukkan
dalam surat al-Hijr ayat 27, dan juga dapat disimpulkan dari sebutan khalifah
dalam cerita Adam. Kata khalifah dalam sebuah riwayat lebih tepat
diartikan dengan makna "mukhallaf", maksudnya makhluk yang
diciptakan belakangan.
Kata yang sama dengan ins adalah insiyy dengan bentuk
jamaknya "'anaasiya". Akan tetapi, kata ini dalam pemakaian
al-Qur'an tidak pernah muncul secara bersama dengan kata jinn. Baik
bentuk tunggal maupun jamaknya hanya dapat ditemukan sekali. Bentuk tunggal
terdapat dalam surat Maryam ayat 26, sementara bentuk jamak terdapat dalam
surat al-Furqa’n. Hubungan antara
kata "ins" dengan "insiyy" sama dengan
hubungan antara kata "`arab" dengan "`arabiyy"
dan semacamnya; yang pertama umum dan menyeluruh, sementara yang kedua khusus
dan terbatas.
Kata ins mendahului kata jin pada konteks pembicaraan tentang
kesucian bidadari (QS. al-Rahman: 39, 56 dan 74), anggapan jin tentang makhluk
manusia dan jin (QS. al-Jinn: 5), dan sikap permusuhan manusia dan jin terhadap
setiap nabi (QS. al-An’am: 112).
Ditinjau dari pemakaiannya yang disebutkan secara bersama-sama dengan kata jinn,
kata ins mengacu pada makna jinak, yang berarti dapat dilihat dan
ditangkap karena memang diperlihatkan, karena makna kata "jinn"
secara bahasa berarti samar, tertutup dan tidak dapat ditangkap (Binti
al-Syathi', t.t.: 313). Tentunya, ini dipandang dari sudut dunia manusia. Dari
makna bahasa ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya makhluk Tuhan ada
dua, yaitu bangsa ins, bangsa makhluk Tuhan yang diperlihatkan sehingga
terlihat, dan yang tertutup sehingga tidak terlihat (oleh manusia), yaitu jinn.
Kata ins disebutkan secara bersama-sama dengan kata jinn atau
jânn, ini memiliki makna bahwa keduanya dalam banyak hal memiliki
kesamaan. Di antara kesamaan yang disebutkan dalam al-Qur'an adalah bahwa
mereka sama-sama menjadi makhluk yang diciptakan Tuhan untuk menyembah-Nya (QS.
Al-Dzariyaat: 56), kepada masing-masing di antara keduanya sama-sama dikirimkan
utusan-utusan dari kalangan mereka sendiri (QS. al-An’am: 13); sama-sama diberi
potensi kemampuan untuk menembus melampaui batas dunia masing-masing ke dunia
lain yang lebih tinggi (QS. al-Rahman: 39); sama-sama ditantang untuk membuat
yang semisal dengan al-Qur'an (QS. al-'Isra': 88); sama-sama dimungkinkan untuk
menjadi musuh bagi nabi (QS. al-An’am: 112); sama-sama dimungkinkan untuk
berhubungan dan saling mempengaruhi baik antar keduanya atau antar
masing-masing, secara negatip terutama jin kepada manusia (QS. al-An’am: 112,
128; QS. al-A’raaf: 38; QS. al-Jinn: 6), dan sama-sama dimungkinkan mereka
mendapatkan siksa sebagai akibat dari kelalaian mereka berdua di dalam
menunaikan tugas utamanya sebagai hamba yang mendapatkan takliif yang
harus ditunaikan (QS. al-A’raaf: 38, 179; QS. Fushshilat: 29; QS. al-Jinn: 5).
Di samping bahwa makhluk Tuhan itu ada dua jenis, yang terlihat dan tidak
tampak sebagaimana disebutkan di atas, penyebutan dua jenis makhluk ini dalam
al-Qur'an lebih ditekankan pada aspek adanya hubungan antara keduanya, hubungan
saling mempengaruhi satu sama lain dengan tekanan utamanya bahwa jin sering
dianggap sebagai yang dapat menyesatkan manusia, dan manusia sendiri menjadikan
jin sebagai tempat perlindungan, subyek yang dimintai pertolongan (QS. al-Jinn:
6; QS. al-A’raaf : 38, dan QS. al- An’am: 112).
Gradasi turunnya ayat-ayat Al-Qur'an yang memuat kata-kata ins dan jinn,
yang semuanya terdapat dalam surat makkiyah, menunjukkan bahwa jin dan manusia
dimungkinkan memiliki kemampuan tertentu untuk menguasai bumi dan langit
melalui perangkat-perangkat penguasaan, namun demikian kemampuan itu harus
dalam kerangka menyembah Tuhan. Dalam kenyataannya di antara manusia dan jin
justru saling bahu-membahu untuk mengabaikan hal itu, sehingga mereka menerima
akibat hukuman, padahal mereka telah diberi peringatan melalui para rasul yang
didatangkan kepada mereka dan dari kalangan mereka sendiri.
Kelima, Bani Adam
Kata Bani Adam menurut bahasanya adalah keturunan atau anak-cucu
Adam, karena Adam dianggap sebagai insaan pertama yang muncul di bumi.
Kata Adam secara bahasa bisa berarti permukaan, bagian dalam dari kulit dan
bagian yang menjadikan sesuatu dapat dikenali. Dari Adam inilah manusia mulai
dikenali dalam pentas kehidupan di permukaan bumi. Kata ini dalam al-Qur'an
disebutkan sekitar 7 kali. Adam merupakan wujud awal dari konsep basyar
yang telah menjadi insaan. Dia dan pasangannya merupakan insaan
pertama yang dimunculkan dalam pentas kehidupan dunia. Oleh karena itu,
ungkapan bani Adam dalam al-Qur'an mengacu pada keseluruhan anak manusia
semenjak dari keturunan awal Adam hingga akhir zaman.
Al-Qur'an mempergunakan istilah ini, terutama dalam rangka mengingatkan
asal-usulnya yang berkaitan dengan cerita Adam. Mereka harus berkaca pada
pengalaman Adam yang pernah dijerumuskan oleh setan ke dalam tindakan yang
dilarang Tuhan (QS. al-A’raaf: 27). Oleh karena itu, ungkapan bani Adam lebih
menekankan pada peringatan terhadap manusia agar memegang nikmat yang telah
diberikan kepada Allah, apakah nikmat itu berupa pemberian kemulyaan,
penghidupan di darat dan laut, pemberian rizki ataupun kedudukan di atas
makhluk lainnya (QS. al-Isra': 70); ikatan janji primordial untuk tidak
menyembah setan karena telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Yaasiin:
60, dan QS. al-A’raaf: 172), yang telah memberikan pakaian takwa yang harus
mereka pergunakan setiap kali mereka menuju ke tempat sujud, dan itu bumi itu
sendiri (QS. al-A’raaf: 31).
B. Pandangan Filosof Mengenai Esensi Manusia
Filosof Yunani Aristoteles
Berpendapat bahwa sesensi manusia terletak pada akalnya yang menjadikansebagai
makhluk yang berfikir Al ghazali meletakan manusia
kedalam tiga tingkat kesadaran
Pandangan, yakni kesadaran indrawi,kesadaran akal,kesadaran rohani.Tahap awal manusia
bergantung kepada kemampuan indranya yaitu pendengaran,penglihatan,dan
perasaannya,menerima rangsangan rangsangan indra apa adanya.Tahap kedua
,manusia menyadari bahwa indra seringkali berdusta dan mulai menggunakan
akalnya supaya terhindar dari tipuan tipuan indra .pada tahap berikutnya
manusia mulai menyadari bahwa akal juga sering tidak jujur terutama kalau
berhadapan dengan norma kebenaran dan etika.baru pada tingkat jiwani manusia
mengenal pedoman hidup yang hak,yakni pedoman dalam rasa yang tersurat di dalam
hati.
Ibn Khaldun memandang manusia dalam struktur matra”dunia Manusia dan dunia
Malaikat yang tergambarkan dalam raga dan jiwa.Raga berhubungan dengan realitas
atas dan bawah realitas bawah jiwa manusia berhubungan dengan raga dan lewat
raga berhubungan dengan dunia fisik.sedangkan realitas atas jiwa manusia
berhubungan dengan dunia rohaniahyang disebut dengan dunia malaikat.manusia
yang memiliki sifat kemanusiaan dan kemalaikatan. Jiwa menurut khaldun
berfungsi sebagai alat untuk mempersiapkan perubahan atau pertukaran kedua
sifat tersebut sejalan dengan Al Qur’an Q.S Shaad ayat 71-72 :
øÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #Z|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ #sÎ*sù ¼çmçG÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ
71.
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku
akan menciptakan manusia dari tanah".
72.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
manusia manusia merupakan makhluk fisiko-fisik yang esensinya terletak pada
perbuatannya dalam bentuk kebudayaan .ia terlahir dengan potensinya yang
memungkinkannya untuk berkembang .Manusia bukanlah makhluk yang diciptakan
dalam kondisi yang telah jadi dan dapat tumbuh dengan sendirinya ia memerlukan
lingkungan yang mempengaruhinya untuk berkembang baik sengaja atau tidak
sengaja.
C.
Kebutuhan
Manusia Akan Pedoman Hidup
Al Qur’an
adalah petunjuk dari Allah SWT untuk manusia hingga akhir zaman kelak. Al
Qur’an turun kepada manusia secara berangsur-angsur melalui Nabi Muhammad SAW.
Setelah suatu ayat turun, Nabi Muhammad SAW segera menyampaikannya secara
tabligh, sidik, amanah, dan fathonah kepada para sahabat dan umat manusia pada
waktu itu.
Kemudian
di antara para sahabat dan umat manusia ada yang menghafalkannya sehingga
kemurnian Al Qur’an selalu terjaga. Bahkan setelah Rasulullah SAW wafat
kemurnian Al Qur’an tetap terjaga karena banyaknya para penghafal Al Qur’an di
tengah umat Islam.
Dirintis
sejak masa khalifah Abu Bakar dan direalisasikan pada masa Khalifah Utsman, Al
Qur’an dibukukan menjadi satu mushaf. Pembukuan tersebut bermanfaat mendukung
penjagaan kemurnian Al Qur’an yang telah dan terus dilakukan oleh para
penghafal Al Qur’an. Walaupun diduga pada masa sekarang ini pembukuan Al Qur’an
juga diwarnai oleh motif yang kurang tepat, seperti motif bisnis atau motif
perpecahan, namun kemurnian Al Qur’an tetap terjaga dengan izin Allah dan ketekunan
para penghafalnya sehingga Al Qur’an sebagai petunjuk kehidupan sampai akhir
zaman tetap terjaga.
Al Qu’an
adalah petunjuk Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Al Qur’an
menunjuki manusia dalam ibadah manusia kepadaNYA maupun dalam muamalah manusia
kepada manusia yang lain, baik berupa muamalah politik, ekonomi, maupun
muamalah pergaulan. Demikian juga Al Qur’an menunjuki manusia dalam merawat
dirinya sendiri, berupa berpakaian, makan, minum dan berakhlakul karimah.
Dengan demikian Al Qur’an adalah petunjuk Allah SWT kepada manusia dalam
seluruh aspek kehidupan.
Berdasarkan
hal itu dapat disimpulkan bahwa manusia membutuhkan Al Qur’an sebab Al Qur’an
jelas sekali sampai akhir zaman merupakan petunjuk dari Allah SWT dalam seluruh
aspek kehidupan. Melalui Al Qur’an manusia tidak akan kebingungan apalagi
tersesat. Melalui Al Qur’an manusia akan tertuji dalam kehidupannya.
Selain itu
dapat pula disimpulkan bahwa manusia tidak membutuhkan petunjuk selain Al
Qur’an, termasuk berbagai hal-hal yang aneh dan di luar kebiasaan. Manusia
tidak membutuhkan petunjuk dari bayi yang dikulitnya ada tulisan berbahasa
Arab, apalagi pohon, sarang lebah, tomat, telur, atau ombak, dll walaupun di
sana ada tulisan berbahasa Arab dan bertuliskan Allah dan Muhammad sebagai
suatu petunjuk. Sebab sudah ada petunjuk yang hak hingga akhir zaman yaitu Al
Qur’an Kariim.
Lagi pula
media pembawa keanehan tersebut tidak kalah anehnya. Media itu ada yang
berwujud kulit bayi, telur ayam, ombak, pohon, atau sarang lebah, dll. Media
pembawa petunjuk ini adalah media yang aneh dan tidak lazim. Bandingkan dengan
Al Qur’an yang sampai kepada umat manusia secara lazimnya, yaitu melalui
makhluk yang terhormat, yaitu seorang manusia yang diutus sebagai nabi, yaitu
Nabi Muhammad SAW. Perbandingan ini sangat menunjukkan bahwa yang dibutuhkan
manusia sebagai petunjuk adalah Al Qur’an yang dibawa Nabi muhammad SAW, bukan
tulisan Arab yang dibawa bayi, telur, ombak, pohon, sarang lebah, tomat,
langit, ombak, dan yang lainnya.
Selain itu
petunjuk Al Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad dan diteruskan kepada umat
manusia dan para sahabatnya dalam bentuk lisan. Yang selanjutnya dihafal oleh
banyak umat Islam. Al Qur’an dalam bentuk mushaf baru muncul belakangan dan
metode utama menjaga kemurniannya tetap berupa hafalan Al Qur’an. Oleh karena
itu tulisan bahasa Arab atau Allah dan Muhammad pada berbagai media ayng
menunjukan keanehan tersebut justru semakin meyakinkan sebagai hal yang bukan
merupakan petunjuk Allah SWT. Sedangkan Al Qur’an adalah petunjuk dari Allah
SWT sampai akhir zaman nanti. Perbandingan ini sangat menunjukkan bahwa yang
dibutuhkan manusia sebagai petunjuk adalah Al Qur’an yang dibawa Nabi muhammad
SAW, bukan tulisan Arab yang dibawa telur, ombak, pohon, sarang lebah, tomat atau
yang lainnya.
Demikian
juga jika memperhatikan perbedaan isinya, manusia akan sampai pada kesimpulan
bahwa Al Qur’an adalah petunjuk Allah SWT, sedangkan selain itu bukan petunjuk
Allah SWT. Isi Al Qur’an yang penuh mukjizat itu mencakup seluruh aspek kehidupan
sedangkan petunjuk yang lain tidak lengkap dan tidak mencakup seluruh aspek
kehidupan. Perbandingan ini sangat menunjukkan bahwa yang dibutuhkan manusia
sebagai petunjuk adalah Al Qur’an yang dibawa Nabi muhammad SAW, bukan tulisan
Arab yang dibawa telur, ombak, pohon, sarang lebah, tomat atau yang lainnya.
Dengan
demikian sangat jelas sekali yang dibutuhkan manusia sebagai petunjuk adalah Al
Qur’an, sebab Al Qur’an dibawa oleh nabi Muhammad SAW yang berisi petunjuk
dalam seluruh aspek kehidupan. Manusia tidak membutuhkan selain Al Qur’an,
entah aneh atau tidak aneh, entah ajaib atau tidak ajaib sebagai petunjuk
kehidupannya. Menggunakan petunjuk Al Qur’an manusia akan selamat dunia dan
akhirat, menggunakan petunjuk yang lain manusia akan merugi dunia dan akhirat.
D.
Manusia Muslim
Sebagaimana
penjelasan diatas manusia terdiri dari beberapa unsur yang satu sama lain
saling mendukung mulai dari tujuan penciptaan,proses terjadnya manusia yang
secara jelas digambarkan al-quran bahkan secara ilmu kedokteran hal itu bisa di
buktikan kebenarannya kemudian setelah terwujud menjadi jasad yang sempurna
manusia dengan perangkat yang diberikan oleh sang pencipta harus bersosialisasi
dengan manusia lainnya untuk sebuah eksistensi kemanusiaannya serta dalam
membentuk sebuah budaya .
Manusia
muslim oleh allah swt diberi potensi akal,nafsu,qolbu. Aqal diarahkan untuk
mengelola alam dengan cara berfikir sehingga memunculkan ilmu
pengetahuan,tekhnologi yang berkaitan dengan tugas kekhalipahan di muka
bumi.kemudian Qolbu diarahkan kepada al-quran melalui proses dzikir sehingga
menghasilkan keimanan sebagai modal dasar penghambaan diri kepada sang pencipta
allah swt sedangkan nafsu menjadi perantara keduanya ,akal harus sejalan dengan
qalbu agar tidak terjerumus kepada gaya hidup materialistis pun demikian qalbu
harus sejalan dengan aqal agar tidak terjerumus kedalam budaya mistisme.Potensi
manusia ketika di manfaatkan dalam koridor yang benar akan menghasilkan
kualitas manusia yang sempurna (insan kamil)
al-qur'an sabagai pedoman bagi umat manusia.
BalasHapus