Rabu, 17 Oktober 2012

Fiqh Perempuan (Kesetaraan Gender)



A.      Latar Belakang Munculnya Fiqh Perempuan
Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan. Meuleman menandaskan bahwa upaya untuk mempertahankan fiqh klasik tanpa mempertimbangkan perubahan zaman, golongan sosial dan tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan masyarakat telah menafikan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana laki-laki.
Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya. Di saat ideologi gender patriarkhis bertalian dengan kepentingan kapitalisme perempuan disudutkan pada “peran ganda” yang membebani. Sejauh itu, Islam belum mampu memberikan solusi yang memadai kecuali hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya domestifikasi yang tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenangan laki-laki.
Sudah waktunya diadakan reaktualisasi, bila tidak rekonstruksi, terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Bukan sebagai makhluk yang terkurung di empat dinding rumah yang manja dan disibukkan oleh intrik-intrik pergaulan elit seperti yang disinyalir oleh Masharul Haq Khan (1994). Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada perempuan-perempuan di masa Nabi, yang sering terluapkan dalam fiqh, sebagai sosok yang dinamis, mandiri, sopan dan terjaga akhlaknya.
Masalah mendasar yang berkaitan erat dengan problematika perempuan adalah langgengnya budaya patriarkhi dalam masyarakat kontemporer, yang dalam kadar tertentu, selaras dengan latar budaya kebanyakan dari kitab-kitab fiqh klasik. Sementara itu, modernisasi telah memberi peluang pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai seorang manusia.
Sehingga tidak mengherankan bila banyak kalangan pemikir Islam, yang bersimpati pada perempuan, untuk mengadakan kajian kritis terhadap kemungkinan merumuskan fiqh alternatif yang mampu menjawab permasalahan kontemporer. Ini sebenarnya bukan hal yang baru, Al-Maraghi telah menetapkan bahwa dalam hubungan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya relasi sosial laki-laki dan perempuan, harus disesuaikan dengan semangat keadilan zaman. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar ulama ushul fiqh (Syamsul Anwar, 1995) bahwa hukum bersandar pada kausanya.

B.       Pandangan Islam terhadap Perempuan
Tidak ada keraguan bahwa Islam bersikap adil kepada perempuan dan menempatkannya dalam kedudukan yang tidak tersesat dan tidak hina. Islam memelihara hak secara penuh dan menjaganya dari pelecehan kehormatannya dan kehilangan kehormatan. Islam telah memuliakannya, bahkan berlebih-lebihan dalam memuliakannya, karena Islam mengetahui bahwa perempuan adalah dasar masyarakat yang baik. Itulah pandangan Islam terhadap perempuan. Kita berbicara tentang pandangan Islam terhadap perempuan atas dasar beberapa hal.
·           Laki-Laki Bagi Perempuan.
Tidak diragukan bahwa kepemimpinan orang lelaki harus tampak jelas dalam hidup bersama istrinya. Hal itu disebabkan tabiatnya ditetapkan untuk memimpin perempuan. Ini tidak dianggap sebagai kezaliman terhadap perempuan, bahkan memuliakannya dan meletakkannya di tempat yang sesuai. Kepemimpinan orang lelaki terhadap keluarga berarti ia menjadi pemimpin keluarganya. Yang wajib bagi anggota-anggotanya ialah mentaatinya, kecuali bila ia menyuruh berbuat maksiat. Hal itu disebabkan ia diwajibkan menanggung keluarga dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Allah Swt. Berfirman:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  

“ Kaum  laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An Nisa : 34)

[289]         Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]         Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291]         Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Oleh sebab itu istri wajib mentaati perintahnya dan tidak menentangnya serta tidak keluar dari rumah tanpa izinnya.
·           Pekerjaan Perempuan
Allah Swt. Telah menjadikan ratu rumah tangga. Apabila suami wajib memberi nafkah, maka ia harus menafkahkan harta untuk mengatur urusan rumah tangga.
Perempuan dibebaskan dari kewajiban yang berlangsung di luar rumah. Misalnya, perempuan tidak wajib mengerjakan salat jumat. Ia tidak wajib melakukan jihad, meskipun boleh keluar untuk membantu para mujahid di medan perang bila ada kebutuhan. Juga ia tidak wajib mengantarkan jenazah, bahkan ia dilarang melakukannya. Tidak diwajibkan salat di masjid, meskipun telah diizinkan salat di masjid dengan beberapa syarat. Ia tidak dianjurkan untuk melakukan itu. Ia tidak diizinkan bepergian, kecuali bersama salah seorang mahramnya.
Sebaik petunjuk Islam adalah ia tinggal di rumahnya sebagaimana ditunjukkan oleh ayat, “Dan tinggallah kamu di rumah-rumahmu.” (Al-Ahzab: 33)
Akan tetapi Islam tidak bersikap keras dalam rumah, karena ada kalanya perempuan perlu keluar. Misalnya tidak ada orang lelaki yang menanggungnya atau ia terpaksa bekerja di luar rumah karena kepala keluarga mengalami kesulitan, penghasilannya sedikit, sakit, tidak mampu atau sebab lainnya. Semua situasi dan keadaan ini telah memberikan kemudahan dan kelonggaran.
Disebutkan dalam hadis:
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan.”
Akan tetapi Allah memberikan izin kepada perempuan untuk memperhatikan keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan saja. Ia tidak mengubah sedikit pun dari kaidah pokok dalam sistem masyarakat Islam, yaitu bahwa lingkungan pekerjaan perempuan adalah di rumah. Izin bagi mereka untuk keluar dari rumah hanyalah sebagai rukhsah dan kemudahan. Maka ia tidak boleh diartikan dari makna dan tujuan yang lain.
Keluarnya perempuan menimbulkan akibat-akibat buruk seperti pakaian yang tidak pantas, tersebarnya kerusakan dan selain itu yang menyebabkan para pendidik mengeluh dan para pejabat merasa bingung antara keadaan yang ditimbulkan peradaban dan situasi yang dihadapi masyarakat dan hati nurani yang hidup serta apa yang diharuskan oleh norma-norma akhlak umum.
Betapapun perempuan menjaga dirinya, ia tidak akan selamat dari pandangan mata orang-orang jahat dan usaha-usaha untuk menekan dan menguasainya, terutama bila ia seorang yang cantik. Oleh karena itu sebaiknya ia duduk di rumah, meskipun hal itu menyebabkan kekurangan tingkat penghidupannya. Akan tetapi akan tampak pada segi-segi lain sesuatu yang lebih utama ribuan kali daripada harta, seperti pendidikan anak-anak dan hubungan yang baik dengan suaminya.
Hak-hak perempuan. Begitu pula ketika Islam menyampaikan hakikat alami dengan perkataan, “Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).” (An-Nisaa’: 34)
Islam telah menetapkan dengan tepat dan pasti bahwa orang lelaki mempunyai kelebihan satu derajat di atas perempuan. Ilmu biologi dan psikologi membuktikan adanya perbedaan kedua jenis tersebut. Islam memperhatikan dan membiarkannya dengan standard yang benar, kemudian membatasi tugas-tugas kedua jenis itu dan derajat mereka sesuai dengan perbedaan keadaannya.
Islam telah memperhatikan tiga perkara dalam menetapkan hak-hak perempuan.
Pertama : Larangan kepada orang lelaki untuk menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya dalam memimpin dan mengurusi keluarga dengan menjadikannya sebagai alat untuk menganiaya perempuan sehingga hubungan antara perempuan dan laki-laki hanya seperti pelayan dan tuannya.
Kedua : Semua kesempatan wajib diberikan kepada perempuan untuk mengembangkan keahlian dan bakatnya yang asli dalam batas-batas tatanan sosial secara optimal dan melakukan pekerjaan untuk membangun peradaban dengan cara sebaik-baiknya.
Ketiga: Bagi perempuan mudah untuk mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan tertinggi. Di samping itu setiap kemajuan dan kesuksesan harus dicapai dengan tetap sebagai perempuan. Dan tidak bermanfaat bagi peradaban atau perempuan itu sendiri bila ia bersiap-siap dan menyiapkan kehidupan lelaki dan tidak pula ia dapat menghasilkan model kehidupan.
Apa yang telah diberikan Islam kepada perempuan berupa hak-hak peradaban dan ekonomi yang luas dengan memperlihatkan ketiga perkara ini secara penuh di samping derajat kemuliaan yang tinggi dan hukum moral adalah termasuk jaminan yang tetap dan kekal untuk memelihara hak-hak dan derajat ini. Tidaklah diragukan bahwa semua itu tidak ada dalam sistem masyarakat mana pun yang lama atau baru di dunia.

C.      Gugatan-Gugatan Perempuan terhadap Ketidakadilan Gender
Sejumlah pandangan dan fakta-fakta sosial budaya yang masih terus berlangsung bahkan sampai saat ini. Perempuan, terutama pada masyarakat Jawa, dipandang sebagai konco wingking dari laki-laki yang menjadi suaminya. Ia adalah teman hidup dengan status di belakang. Sesudah itu, swargo nunut neroko katut. Ke surga atau neraka ikut suami. Nasib perempuan (istri), dengan begitu, benar-benar sangat tergantung pada laki-laki (suami). Perempuan (istri) yang baik atau ideal dalam pandangan umum adalah istri yang penurut, yang selalu menundukkan kepalanya dihadapan suami dan tidak suka protes, perempuan yang nrimo, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau tidak. Mereka dengan rela membiarkan segala penderitaan ditanggung sendiri di dalam hatinya, di dalam batinnya. Mereka berkeyakinan bahwa sikap dan pandangan yang demikian niscaya akan ada balasannya yang lebih baik kelak. Sebaliknya, istri yang suka protes atau mengkritik dianggap sebagai perempuan yang lancang dan tidak baik.
Di masyarakat kita, terutama di pedesaan juga masih berlaku tradisi di mana orang tua mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur. Mereka menganggap mengawinkan anak lebih cepat adalah lebih baik. Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk soal kawin muda ini. Boleh jadi agar ia cepat lepas dari tanggung jawab orang tua. Alasan itu biasanya lebih bersifat ekonomis. Boleh jadi juga karena tekanan masyarakatnya. Orang tua sering kali mendapatkan tekanan normatif dari masyarakatnya demikian besar untuk segera menikahkan anak gadisnya, karena nilai-nilai sosial budaya memandang tugas utama perempuan adalah berumah tangga, di dapur, menjadi istri dan ibu. Jadi, perkawinan dipandang sebagai semata-mata kewajiban sosial, dan bukan karena pertimbangan-pertimbangan lainnya. Atau boleh jadi untuk menghindari bahaya hubungan seks pranikah. Ini merupakan alasan moral keagamaan. Adapun pandangan yang menganggap hal itu justru merupakan kebanggaan orang tua, karena dengan begitu anak gadisnya laku cepat. Sebaliknya, menjadi perawan tua justru merupakan cap yang tidak mengenakkan. Mereka seakan tidak mau tahu bahwa kawin muda atau kawin di bawah umur tidak diizinkan oleh UU Perkawinan No. 1/1974. Pada sisi lain, keputusan untuk mengawinkan atau tidak mengawinkan juga sangat tergantung pada orang tua terutama laki-laki. Pertimbangan anak gadisnya tidak lagi dianggap penting. Lebih menyedihkan lagi, pandangan masyarakat tertentu di Jawa Barat, terutama di wilayah Pantura, yang menganggap kawin cerai berulang kali sebagai suatu kebanggaan tersendiri, karena hal itu juga berarti laku keras. Pada semua persoalan ini, yang terjadi pada laki-laki justru sebaliknya.
Pada ruang publik, pekerjaan dan keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi. Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai sambilan, karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal domestik. Itu pun sebatas apabila diizinkan oleh suaminya, karena diperlukan untuk mencari tambahan penghasilan.
Lebih dari itu semua, peran perempuan dalam wilayah publik/politik juga masih dibatasi. Meskipun telah terjadi perubahan lebih maju, tetapi masih banyak pikiran-pikiran di masyarakat yang memandang perempuan tidak patut memposisikan diri sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan di sektor publik yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki. Ketika dihadapkan pada pilihan untuk menentukan laki-laki atau perempuan yang pantas menjadi pemimpin organisasi atau komunitas masyarakat, maka pandangan yang muncul adalah selama masih ada laki-laki, maka laki-laki adalah yang paling tepat.
Fenomena, realitas, dan fakta-fakta sosial budaya sebagaimana dikemukakan di atas memperlihatkan dengan jelas adanya relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris, yang timpang, yang tidak setara, dan diskriminatif. Inilah yang oleh kaum feminis sering disebut sebagai ketidakadilan gender.

D.      Bias Gender dalam Persoalan Muamalah
Dalam kajian tentang kesaksian perempuan, baik para ulama klasik (fukaha dan mufasirin) maupun para feminis sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an, khususnya surat Al-Baqarah ayat 282.
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, suapaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Atas dasar ayat tersebut, ulama klasik berpendapat bahwa bobot kesaksian perempuan separo dari bobot kesaksian laki-laki dan hanya terbatas pada bidang transaksi bisnis serta rahasia perempuan. Sementara itu, para feminis menyimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki bobot persaksian yang sama dan berlaku untuk seluruh bidang yang memerlukan persaksian.

Mengapa pendapat kedua kelompok ulama berbeda? Tampaknya hal ini terjadi karena kedua kelompok menggunakan pendekatan yang berbeda dalam memahami ayat. Ulama klasik menggunakan pendekatan tekstual yang memang secara eksplisit hanya dapat ditafsirkan sebagaimana pendapat mereka. Di samping itu, konteks kehidupan mereka yang memberikan posisi marginal bagi perempuan dalm kehidupan sosial juga sangat mendukung penafsiran mereka. Lebih lanjut, mereka mengartikan kekhususan bidang kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang yang dapat dipersaksikan oleh perempuan. Karena itu, perempuan tidak dapat menjadi saksi dalam bidang lain.
Berbeda dari hal di atas, para feminis menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami ayat. Hal ini karena konteks kehidupan pada saat ini telah berbeda jauh dari konteks di mana ayat itu diturunkan. Dalam kehidupan saat ini, ketika tugas dan tanggung jawab sosial tidak lagi dibedakan atas perbedaan kelamin, pendekatan kontekstual dalam memahami ayat tersebut sangat diperlukan untuk menunjukkan universalitas ajaran yang dikandung oleh ayat tersebut. Di samping itu, para feminis mengartikan kekhususan bidang kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang yang memerlukan kesaksian seorang perempuan harus didampingi perempuan lain. Karena itu, bidang di luar yang khusus tersebut perempuan memiliki kedudukan yang sama, baik bobot maupun kewenangan dengan laki-laki dalam memberikan kesaksian.

2 komentar:

  1. FikriSultan_11TKJ2

    Menurut Ringkasan Tersebut Bahwa fiqih Wanita Adalah rentang waktu yang panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan Dan Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya.

    BalasHapus
  2. FAUZI RAHMAT FIRDAUS_XI TP3

    Menurut Ringkasan Tersebut Bahwa fiqih Wanita Adalah rentang waktu yang panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan Dan Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya.

    BalasHapus