A.
Latar Belakang Munculnya Fiqh Perempuan
Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang
panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa
dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman
sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan. Meuleman
menandaskan bahwa upaya untuk mempertahankan fiqh klasik tanpa mempertimbangkan
perubahan zaman, golongan sosial dan tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan
masyarakat telah menafikan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan
berubah sebagaimana laki-laki.
Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh
klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi
pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu
direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya. Di saat ideologi gender
patriarkhis bertalian dengan kepentingan kapitalisme perempuan disudutkan pada
“peran ganda” yang membebani. Sejauh itu, Islam belum mampu memberikan solusi
yang memadai kecuali hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya
domestifikasi yang tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenangan
laki-laki.
Sudah waktunya diadakan reaktualisasi,
bila tidak rekonstruksi, terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi
peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan bermanfaat
bagi agama dan masyarakat. Bukan sebagai makhluk yang terkurung di empat
dinding rumah yang manja dan disibukkan oleh intrik-intrik pergaulan elit
seperti yang disinyalir oleh Masharul Haq Khan (1994). Seharusnya sosok
perempuan dikembalikan pada perempuan-perempuan di masa Nabi, yang sering terluapkan
dalam fiqh, sebagai sosok yang dinamis, mandiri, sopan dan terjaga akhlaknya.
Masalah mendasar yang berkaitan erat
dengan problematika perempuan adalah langgengnya budaya patriarkhi dalam
masyarakat kontemporer, yang dalam kadar tertentu, selaras dengan latar budaya
kebanyakan dari kitab-kitab fiqh klasik. Sementara itu, modernisasi telah
memberi peluang pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan, yang pada
gilirannya menumbuhkan kesadaran baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai
seorang manusia.
Sehingga tidak mengherankan bila banyak
kalangan pemikir Islam, yang bersimpati pada perempuan, untuk mengadakan kajian
kritis terhadap kemungkinan merumuskan fiqh alternatif yang mampu menjawab
permasalahan kontemporer. Ini sebenarnya bukan hal yang baru, Al-Maraghi telah
menetapkan bahwa dalam hubungan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya relasi
sosial laki-laki dan perempuan, harus disesuaikan dengan semangat keadilan
zaman. Hal ini juga didukung oleh sebagian besar ulama ushul fiqh (Syamsul
Anwar, 1995) bahwa hukum bersandar pada kausanya.
B.
Pandangan Islam terhadap Perempuan
Tidak ada keraguan bahwa Islam bersikap
adil kepada perempuan dan menempatkannya dalam kedudukan yang tidak tersesat
dan tidak hina. Islam memelihara hak secara penuh dan menjaganya dari pelecehan
kehormatannya dan kehilangan kehormatan. Islam telah memuliakannya, bahkan
berlebih-lebihan dalam memuliakannya, karena Islam mengetahui bahwa perempuan
adalah dasar masyarakat yang baik. Itulah pandangan Islam terhadap perempuan.
Kita berbicara tentang pandangan Islam terhadap perempuan atas dasar beberapa hal.
·
Laki-Laki Bagi Perempuan.
Tidak diragukan bahwa kepemimpinan orang
lelaki harus tampak jelas dalam hidup bersama istrinya. Hal itu disebabkan
tabiatnya ditetapkan untuk memimpin perempuan. Ini tidak dianggap sebagai
kezaliman terhadap perempuan, bahkan memuliakannya dan meletakkannya di tempat
yang sesuai. Kepemimpinan orang lelaki terhadap keluarga berarti ia menjadi
pemimpin keluarganya. Yang wajib bagi anggota-anggotanya ialah mentaatinya,
kecuali bila ia menyuruh berbuat maksiat. Hal itu disebabkan ia diwajibkan
menanggung keluarga dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Allah
Swt. Berfirman:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka perempuan
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. perempuan-perempuan
yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292].
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An Nisa : 34)
[289]
Maksudnya: tidak Berlaku curang
serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]
Maksudnya: Allah telah mewajibkan
kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291]
Nusyuz: Yaitu meninggalkan
kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri
yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila
nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila
tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang
tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah
dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
Oleh sebab itu istri wajib mentaati
perintahnya dan tidak menentangnya serta tidak keluar dari rumah tanpa izinnya.
·
Pekerjaan Perempuan
Allah Swt. Telah menjadikan ratu rumah
tangga. Apabila suami wajib memberi nafkah, maka ia harus menafkahkan harta
untuk mengatur urusan rumah tangga.
Perempuan dibebaskan dari kewajiban yang
berlangsung di luar rumah. Misalnya, perempuan tidak wajib mengerjakan salat
jumat. Ia tidak wajib melakukan jihad, meskipun boleh keluar untuk membantu
para mujahid di medan perang bila ada kebutuhan. Juga ia tidak wajib
mengantarkan jenazah, bahkan ia dilarang melakukannya. Tidak diwajibkan salat
di masjid, meskipun telah diizinkan salat di masjid dengan beberapa syarat. Ia
tidak dianjurkan untuk melakukan itu. Ia tidak diizinkan bepergian, kecuali bersama
salah seorang mahramnya.
Sebaik petunjuk Islam adalah ia tinggal
di rumahnya sebagaimana ditunjukkan oleh ayat, “Dan tinggallah kamu di rumah-rumahmu.” (Al-Ahzab: 33)
Akan tetapi Islam tidak bersikap keras
dalam rumah, karena ada kalanya perempuan perlu keluar. Misalnya tidak ada
orang lelaki yang menanggungnya atau ia terpaksa bekerja di luar rumah karena
kepala keluarga mengalami kesulitan, penghasilannya sedikit, sakit, tidak mampu
atau sebab lainnya. Semua situasi dan keadaan ini telah memberikan kemudahan
dan kelonggaran.
Disebutkan
dalam hadis:
“Allah telah
mengizinkan kalian untuk keluar guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan.”
Akan tetapi Allah memberikan izin kepada
perempuan untuk memperhatikan keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan saja. Ia
tidak mengubah sedikit pun dari kaidah pokok dalam sistem masyarakat Islam,
yaitu bahwa lingkungan pekerjaan perempuan adalah di rumah. Izin bagi mereka
untuk keluar dari rumah hanyalah sebagai rukhsah dan kemudahan. Maka ia tidak
boleh diartikan dari makna dan tujuan yang lain.
Keluarnya perempuan menimbulkan
akibat-akibat buruk seperti pakaian yang tidak pantas, tersebarnya kerusakan
dan selain itu yang menyebabkan para pendidik mengeluh dan para pejabat merasa
bingung antara keadaan yang ditimbulkan peradaban dan situasi yang dihadapi
masyarakat dan hati nurani yang hidup serta apa yang diharuskan oleh
norma-norma akhlak umum.
Betapapun perempuan menjaga dirinya, ia
tidak akan selamat dari pandangan mata orang-orang jahat dan usaha-usaha untuk
menekan dan menguasainya, terutama bila ia seorang yang cantik. Oleh karena itu
sebaiknya ia duduk di rumah, meskipun hal itu menyebabkan kekurangan tingkat
penghidupannya. Akan tetapi akan tampak pada segi-segi lain sesuatu yang lebih
utama ribuan kali daripada harta, seperti pendidikan anak-anak dan hubungan
yang baik dengan suaminya.
Hak-hak perempuan. Begitu pula ketika
Islam menyampaikan hakikat alami dengan perkataan, “Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan).” (An-Nisaa’: 34)
Islam telah menetapkan dengan tepat dan
pasti bahwa orang lelaki mempunyai kelebihan satu derajat di atas perempuan.
Ilmu biologi dan psikologi membuktikan adanya perbedaan kedua jenis tersebut.
Islam memperhatikan dan membiarkannya dengan standard yang benar, kemudian
membatasi tugas-tugas kedua jenis itu dan derajat mereka sesuai dengan
perbedaan keadaannya.
Islam telah memperhatikan tiga perkara
dalam menetapkan hak-hak perempuan.
Pertama :
Larangan kepada orang lelaki untuk menyalahgunakan wewenang yang diberikan
kepadanya dalam memimpin dan mengurusi keluarga dengan menjadikannya sebagai
alat untuk menganiaya perempuan sehingga hubungan antara perempuan dan
laki-laki hanya seperti pelayan dan tuannya.
Kedua :
Semua kesempatan wajib diberikan kepada perempuan untuk mengembangkan keahlian
dan bakatnya yang asli dalam batas-batas tatanan sosial secara optimal dan
melakukan pekerjaan untuk membangun peradaban dengan cara sebaik-baiknya.
Ketiga:
Bagi perempuan mudah untuk mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan
tertinggi. Di samping itu setiap kemajuan dan kesuksesan harus dicapai dengan
tetap sebagai perempuan. Dan tidak bermanfaat bagi peradaban atau perempuan itu
sendiri bila ia bersiap-siap dan menyiapkan kehidupan lelaki dan tidak pula ia
dapat menghasilkan model kehidupan.
Apa yang telah diberikan Islam kepada perempuan
berupa hak-hak peradaban dan ekonomi yang luas dengan memperlihatkan ketiga
perkara ini secara penuh di samping derajat kemuliaan yang tinggi dan hukum
moral adalah termasuk jaminan yang tetap dan kekal untuk memelihara hak-hak dan
derajat ini. Tidaklah diragukan bahwa semua itu tidak ada dalam sistem
masyarakat mana pun yang lama atau baru di dunia.
C.
Gugatan-Gugatan Perempuan terhadap Ketidakadilan
Gender
Sejumlah pandangan dan fakta-fakta
sosial budaya yang masih terus berlangsung bahkan sampai saat ini. Perempuan,
terutama pada masyarakat Jawa, dipandang sebagai konco wingking dari laki-laki yang menjadi suaminya. Ia adalah
teman hidup dengan status di belakang. Sesudah itu, swargo nunut neroko katut. Ke surga atau neraka ikut suami. Nasib
perempuan (istri), dengan begitu, benar-benar sangat tergantung pada laki-laki
(suami). Perempuan (istri) yang baik atau ideal dalam pandangan umum adalah
istri yang penurut, yang selalu menundukkan kepalanya dihadapan suami dan tidak
suka protes, perempuan yang nrimo, tanpa peduli apakah yang dilakukan suaminya
benar atau tidak. Mereka dengan rela membiarkan segala penderitaan ditanggung
sendiri di dalam hatinya, di dalam batinnya. Mereka berkeyakinan bahwa sikap
dan pandangan yang demikian niscaya akan ada balasannya yang lebih baik kelak.
Sebaliknya, istri yang suka protes atau mengkritik dianggap sebagai perempuan
yang lancang dan tidak baik.
Di masyarakat kita, terutama di pedesaan
juga masih berlaku tradisi di mana orang tua mengawinkan anak perempuannya yang
masih di bawah umur. Mereka menganggap mengawinkan anak lebih cepat adalah
lebih baik. Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk soal kawin muda ini.
Boleh jadi agar ia cepat lepas dari tanggung jawab orang tua. Alasan itu
biasanya lebih bersifat ekonomis. Boleh jadi juga karena tekanan masyarakatnya.
Orang tua sering kali mendapatkan tekanan normatif dari masyarakatnya demikian
besar untuk segera menikahkan anak gadisnya, karena nilai-nilai sosial budaya
memandang tugas utama perempuan adalah berumah tangga, di dapur, menjadi istri
dan ibu. Jadi, perkawinan dipandang sebagai semata-mata kewajiban sosial, dan
bukan karena pertimbangan-pertimbangan lainnya. Atau boleh jadi untuk
menghindari bahaya hubungan seks pranikah. Ini merupakan alasan moral
keagamaan. Adapun pandangan yang menganggap hal itu justru merupakan kebanggaan
orang tua, karena dengan begitu anak gadisnya laku cepat. Sebaliknya, menjadi
perawan tua justru merupakan cap yang tidak mengenakkan. Mereka seakan tidak
mau tahu bahwa kawin muda atau kawin di bawah umur tidak diizinkan oleh UU
Perkawinan No. 1/1974. Pada sisi lain, keputusan untuk mengawinkan atau tidak
mengawinkan juga sangat tergantung pada orang tua terutama laki-laki.
Pertimbangan anak gadisnya tidak lagi dianggap penting. Lebih menyedihkan lagi,
pandangan masyarakat tertentu di Jawa Barat, terutama di wilayah Pantura, yang
menganggap kawin cerai berulang kali sebagai suatu kebanggaan tersendiri,
karena hal itu juga berarti laku keras. Pada semua persoalan ini, yang terjadi
pada laki-laki justru sebaliknya.
Pada ruang publik, pekerjaan dan
keringat kaum perempuan di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik atau di
sawah-sawah, dinilai dan dihargai lebih rendah dari yang diperoleh kaum
laki-laki. Bahkan, pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepada perempuan justru
pada sektor-sektor yang tidak membutuhkan kecerdasan dan keterampilan tinggi.
Bagi perempuan yang bersuami, pekerjaan yang dilakukan hanya dianggap sebagai
sambilan, karena tugas utamanya adalah mengurus hal-hal domestik. Itu pun
sebatas apabila diizinkan oleh suaminya, karena diperlukan untuk mencari
tambahan penghasilan.
Lebih dari itu semua, peran perempuan
dalam wilayah publik/politik juga masih dibatasi. Meskipun telah terjadi
perubahan lebih maju, tetapi masih banyak pikiran-pikiran di masyarakat yang
memandang perempuan tidak patut memposisikan diri sebagai penentu kebijakan
atau pengambil keputusan di sektor publik yang di dalamnya terdapat kaum
laki-laki. Ketika dihadapkan pada pilihan untuk menentukan laki-laki atau
perempuan yang pantas menjadi pemimpin organisasi atau komunitas masyarakat,
maka pandangan yang muncul adalah selama masih ada laki-laki, maka laki-laki
adalah yang paling tepat.
Fenomena, realitas, dan fakta-fakta
sosial budaya sebagaimana dikemukakan di atas memperlihatkan dengan jelas
adanya relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris, yang timpang, yang tidak
setara, dan diskriminatif. Inilah yang oleh kaum feminis sering disebut sebagai
ketidakadilan gender.
D.
Bias Gender dalam Persoalan Muamalah
Dalam kajian tentang kesaksian
perempuan, baik para ulama klasik (fukaha dan mufasirin) maupun para feminis
sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an, khususnya surat Al-Baqarah
ayat 282.
“Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, suapaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya.”
Atas dasar ayat tersebut, ulama klasik
berpendapat bahwa bobot kesaksian perempuan separo dari bobot kesaksian
laki-laki dan hanya terbatas pada bidang transaksi bisnis serta rahasia
perempuan. Sementara itu, para feminis menyimpulkan bahwa perempuan dan laki-laki
memiliki bobot persaksian yang sama dan berlaku untuk seluruh bidang yang
memerlukan persaksian.
Mengapa pendapat kedua kelompok ulama
berbeda? Tampaknya hal ini terjadi karena kedua kelompok menggunakan pendekatan
yang berbeda dalam memahami ayat. Ulama klasik menggunakan pendekatan tekstual
yang memang secara eksplisit hanya dapat ditafsirkan sebagaimana pendapat
mereka. Di samping itu, konteks kehidupan mereka yang memberikan posisi
marginal bagi perempuan dalm kehidupan sosial juga sangat mendukung penafsiran
mereka. Lebih lanjut, mereka mengartikan kekhususan bidang kesaksian yang
disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang yang dapat dipersaksikan oleh
perempuan. Karena itu, perempuan tidak dapat menjadi saksi dalam bidang lain.
Berbeda dari hal di atas, para feminis
menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami ayat. Hal ini karena konteks
kehidupan pada saat ini telah berbeda jauh dari konteks di mana ayat itu
diturunkan. Dalam kehidupan saat ini, ketika tugas dan tanggung jawab sosial tidak
lagi dibedakan atas perbedaan kelamin, pendekatan kontekstual dalam memahami
ayat tersebut sangat diperlukan untuk menunjukkan universalitas ajaran yang
dikandung oleh ayat tersebut. Di samping itu, para feminis mengartikan
kekhususan bidang kesaksian yang disebutkan dalam ayat sebagai batasan bidang
yang memerlukan kesaksian seorang perempuan harus didampingi perempuan lain.
Karena itu, bidang di luar yang khusus tersebut perempuan memiliki kedudukan
yang sama, baik bobot maupun kewenangan dengan laki-laki dalam memberikan
kesaksian.
FikriSultan_11TKJ2
BalasHapusMenurut Ringkasan Tersebut Bahwa fiqih Wanita Adalah rentang waktu yang panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan Dan Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya.
FAUZI RAHMAT FIRDAUS_XI TP3
BalasHapusMenurut Ringkasan Tersebut Bahwa fiqih Wanita Adalah rentang waktu yang panjang dan melampai sosio-kultural di mana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, akan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan Dan Kecerdasan untuk mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnasi pemikiran Islam terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya.