Jumat, 18 November 2011

Terminologi Riba


Pengertian riba dalam kamus bahasa Arab adalah kelebihan, penambahan, peningkatan atau surplus. Kata riba juga telah dicakup dalam kata usury dalam bahasa Inggris. Usury diartikan sebagai bunga yang terlalu tinggi atau berlebihan. Tetapi dalam kalangan sarjana Islam, riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi dari pada pokok pinjaman.
Secara etimologis, riba berarti perluasan pertambahan dan pertumbuhan. Baik berupa tambahan material maupun immaterial, baik dari jenis barang itu sendiri maupun dari jenis lainnya. Pada masa pra-Islam, kata riba menunjukkan suatu jenis transaksi bisnis tertentu, dimana transaksi-transaksi tersebut mengidentifikasikan jumlah tertentu di muka (a fixed amount) terhadap modal yang digunakan. Secara garis besar, riba terjadi pada utang-piutang dan jual-beli.
Dalam ilmu ekonomi, riba berarti kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi pinjaman dari si peminjam, yaitu kelebihan dari jumlah pokok yang dipinjam sebagai upah atas dicairkannya sebagaian harta dalam waktu yang telah ditentukan.
Ibnu Hajar Al Askalani menyatakan bahwa esensi riba adalah kelebihan apakah itu berupa barang ataupun uang, seperti uang dua dinar pengganti satu dinar. Allama Mahmud Al Hasan Tauki mengatakan bahwa riba berarti kelebihan atau kenaikan dan juga dalam suatu perjanjian barter meminta adanya kelebihan satu benda untuk benda yang sama. Afzar Rahman menyatakan, pada dasarnya riba adalah pembayaran yang dikenakan terhadap pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku dimana modal pinjaman tersebut digunakan.
Umer Chapra mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan atau pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Jadi apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah Rasulullah Saw. Beliau bahkan mengambil hadiah, jasa atau pertolongan sekecil apa pun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda :”Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, dia tidak boleh menerima hadiah”. Dalam hadits riwayat Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan.” Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Pengertian ini tercermin dalam tulisan-tulisan para ulama dalam sejarah Islam. Hampir tidak ada tafsir Al Qur’an klasik atau kamus bahasa Arab yang memberikan arti berbeda. Misalnya, al-Qurthubi (w.671H/1070M), yang dianggap sebagai salah satu penafsir Al Qur’an yang paling terkenal, dengan jelas menunjukkan bahwa, “kaum muslimin sepakat perihal pengesahan Rasulullah bahwa adanya syarat pertambahan atas jumlah pinjaman adalah riba, tidak peduli apakah berupa sengenggam tepung, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud atau sebutir gandum”.
Ibnu Manzur (w.711H/1311M) juga dengan jelas menyatakan dalam kamus bahasa Arabnya yang termasyhur (Lisan al-Arab) bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah, manfaat, keuntungan lebih yang diterima dari pinjaman dalam bentuk apa pun.”
Jadi, istilah riba yang dipahami sejak masa awal berarti “premium” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu jatuh temponya.
Ini juga merupakan keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fuqaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan  riba, termasuk Muktamar al-Fiqih al-Islami yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1951 dan di Kairo pada tahun 1965. Juga pertemuan Komite Fiqih OKI dan Rabithah ‘Alam Islami yang diselenggarakan  pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan Mekkah. (Lihat al-Qaradhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Dar Ash Shahwah – Dar al Wafa’, Kairo, 1994, hlm. 192-1942). Dengan konsensus mutlak tersebut, tidak ada ruang untuk berargumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam Islam. Karena itu, beberapa pendapat minoritas yang menyatalan pandangan berbeda tidak melemahkan sedikitpun konsensus tersebut.
Al-Qaradhawi dalam hal pengertian riba, mengatakan bahwa sesungguhnya pegangan ahli-ahli fiqih dalam membuat batasan-batasan pengertian riba adalah nash Al Qur’an itu sendiri.
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#râsŒur $tB uÅ+t/ z`ÏB (##qt/Ìh9$# bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÐÑÈ   bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al Baqarah : 278 -279).

Ayat di atas menunjukkan bahwa sesuatu  yang lebih dari modal  dasar adalah riba, sedikit atau banyak. Jadi, setiap kelebihan dari modal asli yang ditentukan sebelumnya karena semata-mata imbalan bagi berlalunya waktu adalah riba.
Batasan riba yang diharamkan Al Qur’an itu sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang rumit. Karena, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang dilarang itu. Padahal Allah telah berfirman :
ö¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ....
“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah : 275).

0 komentar:

Posting Komentar