Pengertian Talak
Menurut bahasa talak berarti melepaskan
atau memutuskan, sedangkan menurut istilah talak merupakan memutuskan ikatan
pernikahan dengan suatu kalimat atau lafadz. Dalam kehidupan sehari-hari talak
lebih di kenal dengan sebutan perceraian.
Beberapa ulama berpendapat (Imam Ahmad
dan Imam Malik) bahwa lafadz talak harus di ikuti oleh niat. Tidak sah bila
adanya lafadz tanpa niat dan niat tanpa lafadz dalam talak. Lafadz talak di
bagi menjadi 2, yaitu:
a) Talak Sharih, artinya “nyata” atau “jelas”,
yaitu talak yang di ucapkan oleh suami kepada istrinya dengan kalimah yang
jelas, fasih dan terang dan tidak mempunyai makna ganda. Contoh lafadz yang
sharih:
· Aku
ceraikan kau dengan talak satu.
· Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak
untuk engkau.
· Hari ini aku ceraikan kau.
jika
seorang suami melafadzkan talak dengan menggunakan lafadz yang sharih maka
talak telah berlaku, walaupun tanpa niat dan saksi.
b) Talak Kina’ah, artinya lafadz secara tidak
langsung, yang dapat mengandung pengertian ganda. Contoh lafadz kina’ah:
·
Pergilah engkau dari sini, ke
mana engkau suka.
·
Kita berdua sudah tiada apa-apa
hubungan lagi.
·
Aku tak mau kau lagi, kau boleh
balik ke rumah orang tua kamu.
Jika
seoarang suami melafadzkan talak tersebut dengan niat untuk menceraikan
istrinya maka jatuhlah talak tersebut keatas istrinya, sebaliknya jika ia
melafadzkan talak tersebuat tanpa niat, maka talak tidak jatuh.
Dasar Hukum Talak
Pernikahan merupakan ikatan antara suami
istri, dimana mereka saling bergaul dengan baik hingga menjadi sebuah keluarga
yang menghasilkan generasi baru. Jika hubungan yang terjalin di antara mereka
berada dalam kondisi yang belum di anggap baik seperti tidak ada rasa kasih
sayang antara mereka, seorang suami atau istri tidak mendapatkan apa yang ia
harapkan dari pasangannya, atau adanya permasalahan yang sudah sangat sulit
untuk di benahi. Maka, dalam islam seorang suami di perintahkan untuk
melepaskan istrinya dengan sebaik-baiknya. Talak hanya berlaku bagi seorang
suami keatas istrinya.
Namun jika suatu talak terjadi akibat
adanya perselisihan antara suami dan istri, maka talak tersebut baru dapat di
laksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah
pihak agar tetap mempertahankan keutuhan keluarga mereka, dan ternyata tidak
ada jalan lain kecuali hanya dengan talak atau perceraian. Talak merpakan
sesuatu yang di bolehkan, tetapi di benci oleh agama, berdasarkan sabda Rasul:
“Hal yang halal tetapi
paling dibenci menurut Allah adalah perceraian”.(HR.
Abu Dawud dan Ibn Majjah).
Adapun
dasar hukum talak adalah :
· Qur’an
Surat An Nisa Ayat 128
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ×öyz 3 ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Artinya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan
nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
· Qur’an
Surah An Nisa Ayat 35
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
Artinya:
“Dan jika kamu khawatir terjadinya
perselisihan diantara keduanya (suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam
dari keluarga suaminya dan seorang hakam dari keluarga Isteri. Dan jika
keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah memberikan petunjuk kepada
keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi”.
· Sedangkan menurut hukum Perdata,
perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan
Undang-undang dan harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Perceraian adalah
salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan. Dalam pasal 199 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebutkan Perkawinan dapat bubar karena (1)
kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau isteri selama
10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin
dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan
ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil,
(4). Perceraian. Sedangkan perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan
adalah perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang.
Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yaitu (1) Zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri, (2) Meningggalkan
tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Suami atau isteri dihukum selama 5
tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan, (4)
Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain
(suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa perceraian tidak
dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri. Dalam
pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa
putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia,
karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal
39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan
yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.
Hukum-Hukum Talak
Hukum talak dapat berubah-ubah sesuai
kondisi atau keadaannya, diantaranya yaitu :
·
Mubah,
hukum talak menjadi mubah jika sang suami membutuhkan hal itu, di karenakan
buruknya akhlak sang istri dimana hal tersebut membahayakan kondisi
keluarganya. Kondisi seperti tidak akan dapat mencapai tujuan nikah yang sebenarnya,
apa lagi jika pernikahan tersebut tetap di pertahankan.
·
Makruh,
hukum talak menjadi makruh apabila talak seharusnya tidak di butuhkan, artinya,
kondisi antara suami dan istri berada dalam keadaan yang stabil dan tidak
terdapat perubahan-perubahan yang mengkhawatirkan. Ia menjadi makruh karena
talak tersebut menghilangkan sebuah pernikahan yang didalamnya terdapat banyak
sekali maslahat islam yang dia njurkan oleh syari’at islam. Sabda Rasullah
“Wanita manapun yang meminta talak dari suaminya tanpa sebab yang jelas, maka
haram baginya bau syurga”.
·
Sunnah,
hukum talak menjadi sunnah jika sangat di butuhkan, dimana jika hubungan
tersebut di pertahankan akan semakin
membahayakan hubungan antara keduanya.Seperti terjadinya perselisihan
dan perpecahan antara suami dan istri, dan sang istri/suami memendam rasa benci
yang sangat dalam kepada pasangannya, jika hubungan tersebut dipertahankan maka
akan membahayakan pasangannya.
·
Wajib,
hukum talak menjadi wajib apabila seorang suami/istri tidak lagi istiqomah
(komitmen) dalam melaksanakan perintah agama. Misal seorang suami wajib
menceraikan istrinya apabila sang istri melakukan zina dan tidak menjaga
kehormaan suami, atau ia mengabaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang
istri.
·
Haram,
hukum talak menjadi haram ketika seorang istri berada dalam keadaan haid atau
nifas, atau ketika istri tersebut berada dalam keadan suci tetapi belum pasti
kalau dia tidak hamil, ketika seorang suami menceraikan istrinya dengan lafadz
tiga kali cerai, atau suami menceraikan istrinya untuk mendapat barang tebusan
(terjadi dalam khulu’).
Jenis-jenis Talak
Secara garis besar ditinjau dari boleh
atau tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Talak Raj’i
Talak raj”i adalah seorang suami yang
mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa menerima pengembalian mahar dari
pihak istri dan belum didahului dengan talak sama sekali atau baru didahulu
dengan talak satu kali.
Allah
Ta”ala berfirman : “Talak (yang dapat
dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229).
Seorang wanita yang mendapat talak
raj”i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa
“iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja suaminya
berkehendak selama dia masih berada dalam masa “iddahnya, dan tidak disyaratkan
adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.
Allah
Ta”ala berfirman,
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru”. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami)
menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228).
2. Talak Bain
Talak ba-’in adalah talak yang terjadi
setelah masa “iddah istri karena talak raj”i telah selesai. Dan hal ini
menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.
Talak
ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak ba-’in shughra, yaitu talak yang terjadi
di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istrinya kecuali
dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridhaan istri yang
dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan berikut:
·
Suami
tidak merujuk istrinya dari talak raj”i hingga masa “iddah selesai;
·
Suami
mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
·
Istri
minta cerai (khulu”) pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian
tersebut dianggap sebagai talak ba-’in, sehingga apabila suami ingin merujuknya
maka suami harus menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri
ridha untuk menikah lagi dengan mantan suaminya tersebut.
b. Talak ba-’in kubra, yaitu talak yang ketiga
kalinya. Allah Ta”ala berfirman,
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 wur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$ss wr& $yJÉ)ã yrßãm «!$# ( ÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz wr& $uKÉ)ã yrßãn «!$# xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$# xsù $ydrßtG÷ès? 4 `tBur £yètGt yrßãn «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqãKÎ=»©à9$# ÇËËÒÈ bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù yy$uZã_ !$yJÍkön=tæ br& !$yèy_#utIt bÎ) !$¨Zsß br& $yJÉ)ã yrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn «!$# $pkß]Íhu;ã 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇËÌÉÈ
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
230. kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.
[144] Ayat Inilah yang menjadi dasar
hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami
dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
Setelah talak ba-’in kubro, mantan suami
tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, baik ketika dalam
masa “iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat berikut:
·
Istri
telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah
tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak
tiga, dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi
dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama
dengan suami kedua maupun tidak.
·
Dilaksanakan
dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.
Dari dua macam talak tersebut, kemudian
bisa dilihat dari beberapa segi, antara lain:
a. Dari segi masa idah, ada tiga, yaitu:
1) Idah haid atau suci
2) Idah karena hamil
3) Idah dengan bulan
b. Dari segi keadaan suami, ada dua:
1) Talak
mati
2) Talak hidup
c. Dari segi waktu jatuh temponya
Ditinjau
dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga : munjazah (langsung), mu”allaq
(menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).
1) Talak
munjazah (langsung)
Talak
munjazah (langsung) adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan
agar talaknya jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada
istrinya, “Anti thaaliq” (engkau tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka
talaknya jatuh pada saat itu juga. Hukum talak munjazah terjadi sejak saat
suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.
2) Talak
mu’allaq (menggantung)
Talak
mu”allaq adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang
diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau
pergi ke rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.
Ada
dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:
· Suami berniat agar talaknya jatuh
tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri melaksanakan apa yang
disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.
· Suami hanya bermaksud untuk memperingati
istrinya agar tidak berbuat hal yang demikian, namun bukan dalam rangka
mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana sumpah. Artinya, apabila syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa, namun jika
syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan
suaminya maka suami wajib membayar kafarat sumpah.
3) Talak
mudhaf (dikaitkan waktu tertentu)
Talak
Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang
suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi semacam
ini terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga sang istri
tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak.
d. Dari segi baik atau tidaknya, ada dua:
1) Talak sunni
Talak
sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang
telah dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam
keadaan suci dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami
menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum
pernah dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.
Allah
Ta”ala berfirman, “Talak (yang dapat
dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229).
“Wahai Nabi! Apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang wajar)…”
(Qs. Ath-Thalaq: 1)
Nabi
shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu
“Umar radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian
“Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada
Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Perintahkan agar ia kembali kepada
(istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci
lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri
atau bila ia menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya.
Itu adalah masa “iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.”
[Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud dalam
"Aunul Ma"bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa"i (VI/138)].
2) Talak
bid’i
Talak
bid’i ialah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Talak
bid’I merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk syariah, baik
mengenai waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya. Dari segi waktu, ialah talak
terhadap istri yang sudah dicampuri pada waktu ia bersih atau terhadap istri
yang sedang haid. Dari segi jumlah talak, ialah tiga talak yang dijatuhkan
sekaligus. Ulama sepakat bahwa talak bid’i, dari segi jumlah talak, ialah tiga
sekaligus, mereka juga sepakat bahwa talak bid’i itu haram dan melakukannya
berdosa.
Talak bid’I antara lain:
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada
waktu istri tersebut haid (menstruasi).
2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada
waktu istri dalam keadaan suci, tetapi sudah pernah dikumpuli suaminya ketika
dia dalam keadaan suci tersebut. Firman Allah Swt. dalam surat Al-Talak ayat 1
berkenaan dengan hal di atas yang artinya: “Wahai
Nabi apabila kamu menceraikan istri-istri, maka ceraikanlah dalam keadaan
idah.”
Para ulama berbeda pendapat tentang
jatuh tidaknya talak bid’I itu, yaitu:
1) Pendapat mazhab Abu Hanifah, Imam Syafi’i,
Imam Maliki, dan Imam Hambali menyatakan bahwa talak bid’I walaupun talaknya
haram, tetapi hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Namun sunnah untuk
merujuknya lagi.pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi’i.
adapun menurut Imam Maliki hukum merujuknya justru wajib.
2) Segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa
tidak sah, mereka menolak memasukkan talak bid’ah dalam pengertian talak pada
umumnya, karena talak bid’ah bukan talak yang diizinkan oleh Allah Swt., bahkan
diperintahkan oleh Allah Swt. untuk meninggalkannya.
Menurut Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyim, dan
Ibnu Hazm, talak bid’ah adalah talak haram. Talak yang haram adalah talak yang
tidak sah dan tidak jatuh, karena termasuk talak yang tidak sesuai dengan
sunnah Rasulullah.
Pendapat yang telah dikemukakan oleh
Peunoh Daly tersebut adalah tepat, bahwa apabila dianggap sah talak pada waktu
istri haid atau pada waktu suci dari haid namu telah dicampuri, maka hal itu
terdapat adanya unsure penganiayaan. Maka, dapat dipahami perintah Rasulallah
kepada Ibnu Umar yang mentalak istrinya yang sedang haid agar ia rujuk kyang
berarti menambah lebih panjang masa idahnya, ini adalah suatu penganiayaan.
Syarat dan Rukun Talak
·
Syarat
Talak
1. Yang mentalak adalah benar-benar suami
yang sah.
2. Yang mengucapkan talak telah baligh.
3. Yang melakukan talak adalah berakal.
·
Rukun
Talak
1. Talak dilakukan oleh suami (kecuali untuk
kasus tertentu, istri bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan). Dengan
demikian, jika si istri mengatakan “kita bercerai” pada si suami, maka hal ini
tidak dianggap sah dan talak tidak terjadi/berlaku.
2. Suami adalah orang yg berakal dan baligh (bisa
membedakan benar dan salah).
Jika suami tidak memenuhi persyaratan ini,
dengan kata lain tidak bisa membedakan benar dan salah, maka ucapan talak tidak
berlaku. Hal yg sama jika si suami tidak berakal.
3. Talak dijatuhkan atas kehendak sendiri, tidak
ada paksaan dari pihak lain.
Saat talak dijatuhkan oleh suami, suami
tidak sedang dalam paksaan dari pihak lain. Kecuali untuk kasus yg terkait
aqidah, misalnya si istri pindah agama ke agama penyembah api misalnya.
4. Talak tidak dilakukan pada saat marah, gila
atau hilang akal (mabuk).
Pada saat terjadi pertengkaran rumah
tangga, seringkali kata “cerai” muncul dan dilontarkan oleh suami. Insyaallah
talak yg dilakukan pada saat pertengkaran (dalam kondisi marah) tidak berlaku.
Hal yg sama jika si suami mendadak gila atau sedang mabuk, lalu menceraikan
istrinya, maka hal ini tidak masuk hitungan talak.
Akibat Putusnya Pernikahan
Beberapa akibat yang mendasar dari talak
antara lain:
a. Iddah
Secara bahasa iddah berarti
hitungan,sedangkan secara istilah iddah berarti masa yang hsrus ditunggu oleh
seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya untuk mengetahui bersih
rahimnya (dalam keadaan hamil atau tidak). Perempuan yang bercerai dari
suaminya dalam bentuk apapun,cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak,
dalam keadaan suci atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu. Dasar hukum
iddah, Qur’an Surah AlBaqarah ayat 228:
“Perempuan-perempuan
yang ditalak oleh suaminya hendaklah menunggu masa selama tiga kali quru
(antara haidh dan suci)’. Tidak halal perempuan itu menyembunyikan apa yang
telah dijadikan Allah dalam rahimnya”.
b. Hadhanah
Secara bahasa Hadhanah berarti
pemeliharaan atau pengasuhan. Sedangkan dalam arti yang lebih lengkap ia
berarti pemeliharaan anak yang masih kecil (belum dewasa) setelah terjadinya
putusnya pernikahan. Dasar hukum hadhanah, Quran surah AlBaqarah ayat 233:
“
Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaina kepada anak dan
istrinya”.
Kewajiban menafkahi anak yang masih
kecil bukan hanya berlaku selama orang tua terkait tali perkahwinan saja, tapi
tetap berlanjut setelah terjadinya perceraian. Dalam masa ikatan perkahwinan
orang tua secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak mereka, setelah
terjadinya perpisahan dan orang tua berpisah maka mereka tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anaknya sendiri-sendiri. Sehingga sering terjadi
perebutan hak asuh antara orang tua.
c. Harta
Bersama
Sebenarnya konsep harta bersama dalam
hukum Islam tidak ditemukan nash yang secara tegas menyebutkan hukum harta
bersama baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Namun masyarakatdalam muslim harta yang diperoleh dalam sebuah
pernikahan ada dua kultur yang berlaku, pertama; kultur masyarakat yang
memisahkan antara harta suami dan harta isteri dalam sebuah rumah tangga. Dalam
masyarakat muslim seperti ini, tidak ditemukan adanya istilah harta bersama.
Kedua; masyarakat muslim yang tidak memisahkan harta yang diperoleh suami
isteri dalam pernikahan. Masyarakat muslim seperti ini mengenal dan mengakui
adanya harta bersama. Di Indonesia, adat kebiasaan masyarakat muslim yang
mengakui adanya harta bersama sudah menjadi lebih kuat, karena telah dituangkan
dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.
Harta bersama berakhir apabila
terjadi kematian salah satu pihak,
perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta yang dituangkan
dalam perjanjian sebelum terjadinya perkawinan. setelah bubarnya harta bersama,
kekayaan mereka dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para pewaris
mereka tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu. Namun hal
ini selalu menimbulkan perselisihan yang berpanjangan.
Dampak Talak
Dampak positif yang bisa didapatkan dari
perceraian adalah terselesainya satu masalah rumah tangga yang tak bisa
dikompromikan lagi. Akan tetapi dampak negatif dari perceraian akan lebih
banyak, seperti:
· Akibat Perceraian Bagi Suami Istri
a. Perceraian sering
menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut, seperti stres dan
despresi. Keadaan ini tidak menguntunggakan untuk kehidupan dia dalam hal
pergaulan ataupun pekerjaan.
b. Meranggangkan
hubungan silaturahmi diantara keduanya, apalagi kalau perceraiannya karena
permusuhan.
c. Perceraian membuat
trauma pada pasangan yang bercerai tersebut sehingga tidak ingin menikah lagi.
· Akibat Perceraian Bagi Anak
Anak-anak
yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan sedih bila orangtua
mereka bercerai. Bahkan bisa dikatakan korban yang paling parah dari perceraian
adalah anak. Anak bisa mengalami despresi, stres dan tertekan, anak juga bisa
menjadi sangat membenci orang tuanya, terjebak ke pergaulan bebas, atau anak
akan menjadi takut menikah karena melihat kegagalan orang tuanya. Dan masih
banyak lagi akibat dari perceraian
0 komentar:
Posting Komentar